Sunday, May 9, 2010

KEKELIRUAN MENJADI PASIEN


Gejala bukan penyakit

Kebiasaan salah dokter bertanya “ anda sakit apa?” membuat pasien bingung harus memberi jawaban apa. Bukankah buat tahu apa dan mengobati penyakitnya itulah maka pasien pergi ke dokter?

Komunikasi pasien dan dokter menentukan mutu diagnosis. Visi, persepsi dan mitos pasien tentang dokter danpenyakit memberi warna pada jalinan komunikasi pasien dengan dokter yang merugikan pasien. Apalagi kalau sampai tidak terjalin. Begitu saja kira-kira yang ingin dikemukakan oleh dr. Hendrawan Nadesul.

Tapi pasien menjawab, “Sakit panas Dok,” itu juga kurang salah kaprah dari dokter sejak awal. Sebab yang dimaksud dokter, “apa keluhan anda?
Gejala tidak identik dengan penyakit. Demam, batuk, darah tinggi, kurang darah, gatal-gatal, dan mencret bukan nama penyakit tapi gejala suatu penyakit.
Gejala dan keluhan di kumpulkan dicampur dengan tanda-tanda penyakit yang dilihat, dedengar dokter. Lalu diaduk dengan semua temuan dari pemeriksaan badan. Alhasil sebuah diagnosis di kamar praktik bisa jitu, bisa juga meleset.

Sesatnya pasien dalam mmengobati diri sendiri karena anggapan salah bahwa gejala atau keluhan serupa dapat diobati dengan obat yang sama, keluhan mata merah yang (kelihatannya) sama bisa berasal dari penyakit yang berbeda-beda. Juga untuk gatal, mulas dan mencret.

Perut pusing kepala mulas

Selain suka rancu, rata-ratapasien juga hobi ngalor ngidul kalau mengungkapkan keluhannya. Pasien sering kurang tajam membedakan mana keluhan yang “ranting” mana yang “dahan” dan “batang”. Dokter yang cerdik selalu memandu pasiennya agar hanya menungkapkan alasan kuat yang mendorong pasien datang berobat. Ini yang dijadikan pedoman dalam mengarahkan pikiran dokter untuksebuah diagnosis.

Bahasa dan mutu ungkapan pasien sering kurang jernih. Dokter tak selalu mudah menghayati pasien. Karena dokter belum tentu pernah mengalami sendiri setiap keluhan pasiennya. Sekolah dedokteran tidak mensyaratkansetiap dokter harus pernah merasakan nyeri haid atau melahirkan, atau harus mengalami sakit raja singa dulu supaya bisa mengobatinya, misalnya.

Bisa saja terjadi yang di tangkap dokter bukan seperti yang dimaksudkan pasien. Rasanyeri, misalnya banyak kalibrasi dan jenisnya. Bahasa jawa paling lengkap ungkapan rasa nyerinya. Tapi tidak semua dokter mahir semua bahasa pasiennya, dan tidak setiap pasien menguasai bahasa dokternya. Kurang bulatnya pasienmelukiskan keluhan yang dirasakannya bisa menyesatkan arah pikiran dokter dalam mendiagnosis.

Mampu tidaknya seorang dokter dalam manangkap keluhan-keluhan pasiennya amat tergantung dari pengalaman dan bekal medis yang dimilikinya. Pasien tifus bisa datang dengan keluhan demam. Yang lain bilang sakit perut. Yang lain lagi bilang sakit kepala. Dokter berpengalaman yang ijazahnya bukan aspal dan jarang bolos kuliah, mungkin baru dengan melihat saja bisa tahu pasien tifus sama jelasnnya dengan pasien TBC.

Curigai dokter yang rajin membuka semua

Tidak semua pasien perlu diperiksa lengkap. Ketelitian memeriksa tidak harus membuka semuanya. Pemeriksaan dinilai arif kalau terpusat sesuai arah pikiranyang ditangkap dokter setelah bicara dengan pasien. Pasien congek atau panu tak harus disuruh membuka baju, apalagi pakaian dalam.

Pasien pria sebaiknya tidak memilih dokter wanita untuk berobat penyakit kelamin. Jangan tersinggung kalau dokter tak memeriksa apa-apa. Lebih banyak dokter wanita yang tidak mau melihatnya, kono karena merasa takut.

Teliti dan lama pemeriksaan bukan jaminan tepatnya diagnosis. Sebaliknya, proses periksa kilat tak selalu berarti salah diagnosis. Kuncinya faktor pengalaman. Kecermatan, memeriksa dan kesembuhan pasiennya menjadi salah satu ukuran bonafiditas seorang dokter,m walaupun tak selalu harus mempraktikan dengan membuka baju orang.

Diognosis “kucing dalam karung

Salah, anggapan bahwa semua penyakit selalu mungkin didiagnosis di kamar praktek dokter. Ibarat kucing dalam karung, orang tidak mungkin menentukan jenis warna dan sosok kucing hanya dengan mendengar bunyinya bisa didiagnosis hanya dengan perangkat dan kemahiran dokter di kamar praktik. Kencing manis dan anemia pelu laboratorium. Patah tulang dan batu ginjal perlu roentgen. Ayan perlu EEG dan penyalit jantung perlu EKG.

Penyakit yang sebetulnya bisa didiagnosis langsung di kamar praktik bisa meleset kalau pasien datang tidak pada waktu yang tepat. Pasien tifus yang sudah datang ketika baru demam saja tak bisa dibedakan dengan pnyakit demam lainnya.

Pasien yang setelah minum obat dan demamnya memburuk akan bilang dokter yang memeriksanya kurang pintar. Sedang dokter yang seminggu keudian mendiagnosis tifus dibilang dokter hebat.

Belum tentu. Mungkin hanya karena”nasib” dokter yang belakangan lebih baik. Pasien datang pada saat sosok penyakitnya sudah tampak lebih gambling, kalau dokter pertama baru melihat daunya, dokter yang belakangan memeriksa sudah melihat pohonnya. Kejadian sebaliknya bisa terjadi. Dokter yang sebelumnya dibilang bego bisa dibilang brilian oleh pasien lain kalau nasibnya hanya kedatangan pasien yang baru berobat waktu sakitnya sudah parah. Waktu gambaran penyakitnya sudah sangkat lengkap.

Enaknya dokter kesohor juga disitu. Karena umumnya pasien yang datan biasanya sudah berobat ke mana-mana belum sembuh, ketika gambaran penyakitnya biasanya sudah utuh dan gambling sesuai dengan yang ada di buku teks.

Tidak semua “penyakit” perlu obat

Pasien yang datang berobat ke dokter sebagian besar bukan karena penyakit berat. Rata-rata bisa msembuh sendiri, bahkan sekalipun tanpa obat. Fungsi obat lebih karena sugesti pasien sendiri. Tipe pasien yang langsung sembuh begitu ketemu dokter membuktikan bahwa obat tidak selalu diperlukan. Fenomena anak yang langsung semmbuh begitu dipegang dokternya juga memberi arti tubuhnya sugesti dokter terhadap pasiennya.

Tak selalu perlu pemeriksaan canggih

Sekarang pemeriksaan dengan alat canggih sering kali lebih sekedar mengikuti mode ketimbang fungsinya. Tak perlu iri jika untuk keluhan yang sama dengan orang lain rapi kita tidak diperiksa dengan alat canggih, karena mungkin kondisi penyakitnya tak sama.

Alat canggih yang dipakai secara tidak tepat dan salah alamat menambah tinggi biaya berobat. Sekali lagi alat-alat itu hanya membatu bukan satu-satunya cara dokter mendiagnosis. Belum tentu dengan alat lebih canggih diagnosis lebih jitu.

Mahal belum tentu mujarab

Kesembuhan penyakit tidak ditentukan oleh mahal tidaknya obat, melainkan oleh ketepatan dokter memilihkan obat untuk diagnosisnya yang jitu. Obat yang salah alamt, betapapun mahalnya tidak mungkin menyembuhkan. Sebaliknya, obat yang murah namun tepat lamat, pasti tokcer.

Harus dibedakan antara obat murah dengan obat bermutu rendah. Masyarakat rancu dan pukul rata bahwa obat generic itu pasti kurang bermutu, dan obat bukan generic pasti bagus mutunya. Ada obat murah yang memang bermutu, ada juga obat mahal namun kurang bermutu. Keraguan pasien terhadap obat yang diminumnya ikut menentukan kesembuhannya. Tapi kalau ada obat yang lebih murah dan bisa menyembuhkan, mengapa harus pilih yang mahal?

Kesembuhan tidak ibarat makan cabai

Tidak ada penyakit yang bisa langsung sembuh begitu obat diminum. Yang mereda gejala dan keluhannya, sedang panyakitnya masih membara. Jangan pindah dokter dulu sebelum obat dihabiskan. Karena pasien mengira penyakit itu identik dengan gejala maka hilangnya gejala dinilai sama dengan sembuh. Itu makanya banyak dokter dituntut oleh pasien untuk lebih mengutamakan pengobatan menghilangkan keluhan gejala atau simmtomatik ketimbang membasmi akar penyakitnya. Itu sebabnya resep sekarang lebih panjang karena lebih banyak obat diresepkan, yang sebetulnya kurang perlu.

Gejala nyeri kepala, demam, mual, mencret, yang merupakan bagian dari suatu penyakit tak selalu perlu diberi obat. Yang diobati penyebab timbulnya keluhan dan gejala tersebut. Anak yang radang tenggorokan, selain demam dan batuk sering pula mencret. Mencretnya tidak selalu berarti ada gangguan usus, melainkan bagian dari penyakit radang tenggorokannya yang tak perlu diobati. Begitu juga kalau mual dan muntah. Obat pereda keluhandan gejala baru diberikan kalau kondisinya sudah mengganggu. Misalkan akibat demamnya anak menjadi kejang, atau akibat batuk sampai muntah berkali-kali atau mencretnya sampai membuatnya kekurangan cairan.

Kalau ada keluhan dan gejala langsung mereda dan tak muncul lagi sehabis minum obat, itu artinya bukan penyakit berarti. Anak yang demam, batuk, meuntahnya atau keluhan dan gejala lain hanya turun jika minum obat tidak boleh dibilang penyakitnya sudah sembuh. Pasien begini perlu obat yang membasmi akar penyakitnya. Sebaliknya, jika obat dokter seudah habis gejala dan keluhan masih tetap ada, mungkin diagnosis dokter meleset.

Tak semua penyakit bisa diobati sendiri

Pilihan pasien mengobati penyakit sendiri tak selalu selah. Untuk gangguan dan keluhan sementara dan bisa mereda dengan obat bebas (OTC) tak perlu bantuan dokter. Tapi jika keluahan dan gejala menetap atau membuaruk, jangan tunda pergi ke dokter.

Pasien kencing manis dan darah tinggi cenderung melanjutkan sendiri pengobatannya lantaran merasa bisa bebas membeli obat. Kebiasaan ini bisa berbahaya akibat dosis dan efek sampingan yang tak terpikirkan oleh pasien. Kadar gula atau tekanan darah anjlok lebih berbahaya dibandingkan dengan sedikit tinggi. Pemakaian obat secara rutin danlama cenderung bisa menimbulkan kondisi demikian kalau tidak diawasi dokter.

Kebiasaan buruk lain dalam mengobati sendiri, karena obat yang sama dipakai untuk keluhan dan gejala yang sma. Obat tetes mata yang mengandung bahan kortison, misalnyam bisa berbahaya jika dipakai untuk semua penyakit mata. Demikian pula untuk salep kulit, bahkan untuk pilihan obat bebas pun perlu batas. Betapapun bebas pemakaian dan sederhananya obat, semua tetap punya efek sampingan.

Belum semua penyakit dapat disembuhkan

Ini fakta medis yang harus kita terima. Artinya, perlu lebih skeptis dalam menerima tawaran penyembuhan yang kurang masuk akal secara medis. Untuk sebuah temuan medis dibutuhkan waktu dan dana yang tidak sedikit. Jangan mudah percaya jika sekarang ada pihak yang mengaku, misalnya mampu menyembuhkan AIDS atau hepatitis B. Karena jika benar begitu, seharusnya pihak ini berhak mendapatkan hadiah Nobel.

Terapi alternatif sekarang megarah kepada keonsep kembali kea lam. Tidak seluruhnya salah, tapi belum tentu semuanya benar. Perlu bukti ilmiah memadai, bukan empiris, apalagi jika cuma “ilmu” warisan. Heboh daun kompring, susu kuda liar, benalu the, dimasa lalu menajarkan kepada kita agar tidak terlalu sederhana melihat kerja besar puluhan tahun sebuah temuan obat.

Penyembuhan nonmedis begitu mudah dipercaya karena didukung oleh pengakuan orang-orang yang berhasil disembuhkan oleh suatu obat atau suatu healing yang secara ilmiah belum terbukti. Mengapa? Karena yang cerita Cuma yang sembuh saja, sedang yang tidak berhasil disembuhkan biasanya bungkam. Itu bisa berarti yang tidak disembuhkan masih lebih banyak daripada yang disembuhkan. Suatu obat atau healing secara ilmiah bis dinilai bermakna khasiatnya jika berhasil menyembuhkan semua pasien dengan penyakit yang sama. Selama masih ada yang tidak berhasil disembuhkan berarti masih memuat faktor kebetulan dalam kesembuhannya. Kita tahu faktor kejiwaan pun ikut berperan dalam kesembuhan. Rasa yakin dan berpikir positif yang kuat turut membantu proses kesembuhan pasien juga.

Sumber : INTISARI (kumpulan kesehatan)

No comments:

Post a Comment