Friday, August 5, 2011

HINDARI PENGGUNAAN RUM




Rum oleh sebagian masyarakat masih sering digunakan. Mereka memanfaatkannya untuk pembuatan kue atau jenis pangan lainnya. Menurut wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Muti Arintawati, pemanfaatan itu dalam bentuk rum asli, esens atau jenis sintetisnya.

Muti mengungkapkan, rum ini merupakan jenis minuman keras. Dengan demikian, masyarakat muslim atau konsumen Muslim mestinya tak memanfaatkannya atau mengonsumsi makanan yang berisi rum. Mereka juga sebaiknya meninggalkan rum dalam bentuk esens.
Ia mengatakan, MUI tak bias mensertifikasi bahan yang dibuat menyerupai bahan asli yang haram. Jadi, esensnya tak semestinya dipakai dalam pembuatan produk pangan. Ia menambahkan, biasanya rum ini dimanfaatkan dalam pembuatan kue, seperti black forest atau fla-isi dari sau dan pudding.

Tak jarang dalam pembuatan cocktail juga melibatkan rum dalam pasta. Muti mengungkapkan dalam pembuatan kue, rum disemprotkan pada kue tersebut. Ada sejumlah tujuan yang ingin dicapai. “Dengan rum, diharapkan ada aroma tertentu yang menarik,” katanya.

Rum pun diyakini mampu meningkatkan ketahanan kue dalam kurun waktu tertentu. Kue bisa bertahan lebih dari waktu umumnya. Karena, rum yang mengandung etanol itu, jelas Muti, mampu mencegah munculnya organism yang membuat kue rusak. Tapi, ia mengku tidak tahu persisi berapa lama kue itu mampu bertahan.

Masyarakat atau konsumen Muslim masih banyak yang menggunakan atau menikmati kue dengan rum ini. Ini disebabkan factor ketidak tahuan bahwa rum itu termasuk ke dalam khamar. Sebagian lain meyakini rum ini akan menguap dan terpisah dari kue ketika dipanaskan.
Pakar pangan halal, Anton Apriyantono, menjelaskan, rum termasuk golongan khamar atau minuman keras dengan kadar alcohol mencapai 37 persen. “Jelas, sifatnya sangat memabukkan sehingga masuk ke dalam golongan khamar,” katanya. Ada jenis sintetisnya, namun tetap saja bahan pelarutnya adalah alcohol.

Itu mengandung fusel oil yang berasal dari hasil samping industry minuman keras. Sehingga yang sintetis itu memiliki sifat yang sama dengan rum yang dibuat dengan cara fermentasi alcohol. Jika sudah jelas bahwa rum ini merupakan khamar, itu tak bisa digunakan sama sekali.
Hal ini sesuai dengan hadis yang berkenaan dengan khamar. Khamar, ujar Anton, tak boleh digunakan untuk membuat cuka, dipakai sebagai penghangat badan, dibuat, dibuat obat, bahkan dijual kepada Yahudi sekalipun. Bagaimana mungkin khamar boleh digunakan dalam makanan jika hukumnya sendiri tak boleh dimanfaatkan.

Selain itu, dalam pencampuran yang bersifat homogeny akan berlaku kaidah fikih : ketika bercampur antara halal dan haram, yang menang adalah yang haram. “Kesimpulannya jelas, rum tidak diperkenankan sama sekali dalam pembuatan makanan dan makanan yang sudah bercampur dengan rum tak boleh dikonsumsi, “ kata Anton.

Dalam pembuatan kue tar, misalnya, kata Anton, rum tak boleh digunakan. Memang, ada orang yang meyakini rum bisa dibersihkan dari kue dengan cara-cara tertentu. Ia menegaskan, rum yang sudah tercampur dalam tar mustahil bisa dihilangkan. Selalu ada sisa rum yang membuat makanan itu berstatus haram.

Sumber Dialog Jumat