Wednesday, May 5, 2010

EMPATI ANAK


Mulai dari Hal-Hal Sederhana

Empati kerap kali disebut sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam melakukan hubungan antarpribadi. Melalui kemampuan memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau perasaan lawan bicara ini, individu akan mampu memahami orang lain.

DANIEL Goleman, psikolog dan penulis Emotional Intelligence, menyatakan bahwa anak-anak yang memiliki kemampuan membaca perasaan orang lain dengan baik mempunyai kelebihan. Mereka biasanya populer, kondisi emosinya lebih stabil, dan memiliki prestasi lebih baik di sekolah, sekalipun IQ-nya tidak lebih tinggi dari siswa lain. Batita (bayi di bawah tiga tahun) yang mampu mengembangkan empati cenderung lebih toleran dan penuh kasih sayang.

Kemampuannya lebih baik dalam memahami kebutuhan orang lain, seperti mengatasi amarah dan hubungan sosial. Goleman menegaskan, empati menjadi bekal berguna bagi si kecil ketika ia berada di lingkungan sekolah, bekerja, pertemanan, dan kehidupan percintaannya nanti.

Umumnya pada pertengahan tahun kedua seorang anak, ia akan mampu menunjukkan kasih sayang yang nyata pada orang lain. Penelitian yang dilakukan Alison Gopnik, psikolog kognitif dari Universitas California, memperkuat pernyataan ini. Ia melakukan penelitian pada beberapa batita berusia 14 bulan dan 18 bulan, yang diberi dua buah mangkuk makanan. Mangkuk pertama berisi kerupuk ikan, sedangkan yang lain diisi brokoli. Alison lalu mencoba kedua makanan tersebut di hadapan keduanya sambil mengatakan, ”huek” pada mangkuk pertama (kerupuk) dan ”mmm” untuk mangkuk kedua. Lalu, ia menyerahkan kedua mangkuk itu kepada mereka dan berkata, ”Tante, minta dong?

Meskipun Alison menganggap brokoli enak dan kerupuk tidak enak, kebanyakan batita berusia 14 bulan menawarkan makanan favoritnya, yaitu kerupuk. Tetapi tidak dengan kelompok lainnya. Batita berusia 18 bulan tampaknya memahami bahwa kesukaan Alison berbeda dengan mereka. Mereka memberikan brokoli kepada Alison. Inilah yang disebut Allison sebagai tahap penting dalam perkembangan empati. Batita ternyata mampu mengenali bahwa orang lain bisa memiliki perasaan berbeda dari diri sendiri. Menurut psikolog Dra Henny Eunike Wirawan MHum, ada beberapa kegunaan yang bisa didapat seorang anak bila dilatih berempati, yaitu kemampuan mengetahui dan memahami emosi orang lain dan berbagi perasaan dengan orang lain.

Kemudian dengan empati, anak akan mengerti bahwa tidak semua keinginannya melaluioranglaindapatterpenuhi. Dengan empati anak akan mampu membina hubungan dan diterima oleh orang lain. Henny mengatakan, anak dapat diajarkan untuk berempati kepada orang lain sejak dini. Usia balita merupakan usia yang paling tepat menanamkan sikap empati. ”Justru empati ini harus dilatih sejak kanak-kanak. Hal ini akan memicu anak untuk memiliki pengertian terhadap perasaan orang lain,” tandas staf pengajar di Universitas Tarumanegara, Jakarta itu. Untuk mengajarkan anak mengenai empati, orangtua tidak perlu melakukan hal-hal yang besar.

Anak dapat diperkenalkan empati mulai dari hal-hal sederhana. ”Misalnya, ketika orangtua dan anak melihat seorang pengemis. Orangtua bisa bertanya bagaimana perasaan anak dan mau berbuat apa untuk menolong. Namun, yang paling penting ialah contoh dari orangtua,” kata Henny, menegaskan. Contoh yang diperoleh anak dari orangtua, lanjutnya, merupakan cara yang paling baik untuk mengajarkan anak. Kesan yang lebih mendalam akan terekam pada diri anak dengan melihat sikap yang dilakukan orangtua, dibandingkan hanya memberi pengertian saja.

Berkembang sejak Bayi

PADA dasarnya setiap anak sudah memiliki kepekaan (empati) masing-masing pada dirinya, hanya hal tersebut tergantung bagaimana cara si anak maupun orangtua mengasahnya. Dengan demikian, terbentuk karakter yang baik. Oleh karena itu, orangtua ataupun guru sangat dianjurkan untuk menanamkan sifat empati kepada anak. Bibit empati sebenarnya sudah terlihat sejak si bayi lahir. Orangtua mungkin pernah melihat dua orang bayi di dalam satu ruangan. Ketika salah satunya mulai menangis, bayi yang lain seolah-olah terdorong untuk bereaksi sama. Ini menunjukkan empati, meski masih dalam bentuk yang paling dasar. Mereka mampu berbagi emosi dengan orang lain. Saat menjelang usia satu tahun bentuk empati itu semakin nyata.

Psikolog perkembangan Lawrence E Shapiro PhD, mengatakan bahwa sebenarnya secara naluriah anak sudah mengembangkan empati sejak ia masih bayi. Awalnya empati yang dimiliki sangat sederhana, yakni empati emosi. Misalnya, pada usia 0-1 tahun, bayi bisa menangis hanya karena mendengar bayi lain menangis. Barulah di usia 1- 2 tahun, anak menyadari kalau kesusahan temannya bukanlah kesusahan yang mesti ditanggung sendiri. ”Malahan pada sebagian besar anak balita, secara naluriah ia mencoba meringankan penderitaan orang lain,” papar Lawrence. Psikolog perkembangan Martin Hoffman menegaskan, hanya perkembangan kognitif atau intelektualnya belum matang, maka anak menunjukkan kebingungan empatik. ”Contohnya, ketika balita melihat temannya menangis, mula-mula ia bingung dan hampir ikut menangis. Tetapi, kemudian ia mendekati temannya dan mulai menghiburnya,” ujar Hoffman.
Dengan bertambahnya usia dan kematangan kognitifnya, berkembanglah tahapan empati kognitif. Hoffman mencontohkan, untuk anak usia enam tahun, mulai mampu memandang sesuatu dan memahaminya. Dengan begitu, ketika ada temannya menangis atau sedih anak akan mendekati dan menghiburnya. Bahkan, anak tahu kapan saatnya tidak boleh mendekati temannya, misalnya saat tangis sang teman sangat hebat. ”Kemudian di usia ini, anak sudah punya bibit mengenai konsep keadilan dan keinginan diperlakukan dengan baik. Anak juga ingin pihak lainnya –seperti teman, orang asing, bahkan tokoh dalam buku cerita– diperlakukan dengan baik juga,” katanya.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Carolyn Zahn-Waxler dan koleganya. Penelitiannya yang bertajuk ”Development of Concern for Others”, dengan responden sejumlah batita dan para ibu sebagai korban. Carolyn mencoba mengamati perilaku anak setelah ulang tahun pertamanya.

Hasilnya, si kecil mulai memperlihatkan perhatiannya untuk orang lain di usia 1 tahun ke atas. Dari hasil penelitiannya, Carolyn membagi tahap perkembangan empati anak usia satu tahun ke dalam tiga golongan usia. Golongan pertama, yaitu anak usia 13-15 bulan. Lebih dari setengah responden batita mencoba memeluk, menepuk, atau menyentuh orang lain yang sedang kesusahan. Para peneliti menyebut perilaku ini sebagai perilaku pro-sosial.

Artinya, mereka tidak hanya merespons emosi yang dilihat, tetapi juga mencoba untuk membantu orang lain merasa lebih baik. Tidak berarti batita menunjukkan empati setiap saat. Hal ini menandakan gejala awal empati,” ujarnya. Kemudian golongan kedua, yaitu anak usia 18-20 bulan. Perilaku pro-sosial batita semakin bertambah. Cara mereka menunjukkan perilaku ini juga semakin bervariasi. Beberapa dari responden memberikan respons verbal. ”Kamu tidak apa-apa kan?”, misalnya. Ada juga yang membagi barang miliknya, membawakan plester atau selimut, dan membantu dengan cara lain. Terakhir, golongan anak usia 23-25 bulan. Batita menunjukkan perilaku lebih dari sekadar empati. Mereka memperlihatkan perhatian dan membantu orang lain tanpa diminta oleh ibu atau pengasuh. Bahkan, sebagian besar responden memperlihatkan rasa empati, meskipun ”si korban” adalah orang lain.

Kenyamanan Picu Ketidakpekaan

KEMAMPUAN berempati penting ditanamkan pada anak-anak yang hidup di perkotaan. Alasannya, anak yang tinggal di kota besar jarang menemui secara langsung kejadian-kejadian yang menyentuh perasaan, seperti bencana alam. Hal ini ditambah dengan begitu mudahnya mereka mendapat fasilitas kenyamanan, seperti tempat tinggal yang nyaman, lingkungan tertata apik, bangunan sekolah megah, maraknya pusat perbelanjaan, dan yang lainnya. Semua ini dapat membuat anak-anak terbiasa hidup enak dan kurang menemukan tantangan dalam kesehariannya. Secara psikologis terbentuklah karakter anak yang gampang frustrasi atau menyerah ketika menghadapi suatu masalah kecil. Menurut psikolog Dra Henny Eunike Wirawan MHum, jika dikaitkan dengan penghayatan sosial, maka anak-anak perkotaan cenderung tumbuh dengan kurang memiliki rasa empati, kurang mampu merasakan apa yang dialami atau kondisi sosial orang lain, serta tak peduli dengan kesulitan orang. Anak juga tidak terbiasa dan tak terlatih berbagi perasaan gembira serta kurang peka terhadap kondisi yang terjadi di sekitarnya.

Empati tergantung dari pola asuh, yang juga dipengaruhi oleh gaya hidup. Gaya hidup perkotaan saat ini kurang mendukung sikap empati, terutama karena orangtua memiliki waktu yang semakin sedikit untuk berbagi dan membahas perasaan dengan anak,” paparnya. Kondisi ini ditambah dengan kebiasaan bermain anak di dalam rumah dengan alasan keamanan. Atau, bermain sendiri (soliter) didukung dengan semakin canggihnya teknologi. ”Otomatis, anak tidak terlatih berkomunikasi karena kurang bergaul dan bersosialisasi,” ucap Henny. Ia menambahkan, tugas untuk menanamkan empati tersebut terutama kepada orangtua, selain guru di sekolah. Henny yakin dengan pola asuh yang banyak berdiskusi, memberi penghargaan, disertai kritik yang berimbang mampu menumbuhkan sikap empati kepada anak.

Jika bibit empati sudah dipupuk sejak kecil. Alhasil, diharapkan ketika anak semakin dewasa, keterampilan sosialnya ini akan semakin berkembang,” ujar Henny. Dengan empati, anak juga mampu bergaul dan menjalin persahabatan dengan orang lain. Dengan empati, anak akan memiliki inisiatif untuk membantu orang lain yang berada dalam kesulitan. Ada beberapa cara yang dapat orangtua lakukan untuk mengembangkan sikap empati pada anak, salah satunya melalui cerita. Ada beberapa faktor yang memengaruhi penanaman sikap empati pada seorang anak. Henny mengungkapkan, faktor pertama ialah faktor pendidikan di dalam rumah. Kemudian, kebiasaan orangtua dan anak untuk berbincang-bincang mengenai perasaan anak dan perasaan orang lain dalam situasi tertentu.

No comments:

Post a Comment