Saturday, April 3, 2010

TELAPAK TANGAN BUKAN TERMOMETER


Menempelkan telapak tangan ke dahi si Buyung atausi Upik bukan cara tepat untuk menggolongkan suhu badannya panas, normal atau dingin. Naiknya suhu tubuh bukan serta merta petunjuk ia harus diminumi obat turun panas. Dr. Paul Zakaria da Gomez, ahli imunologi dari RS Harapan Kita, menguraikan duduk persoalannya, termasuk kapan obat turun panas diperlukan.

Setiap hari televisi menyuguhkan pelbagai macam iklan obat penurun panas. Semuanya menklaim serba cespleng! Orang tua mana yang tidak cemas kalau anaknya menderita panas? Nomor satu pasti buru-buru mencari obat penurun panas, entah dari lemari obatnya sendiri, beli di warung, atau minta pada tetangga.

Setiap kali anak kita tidak enak badan, pasti gerakan refleks kita langsung menempelkan tangan ke dahi atau lehernya. Tapi telapak tangan sebagai alat pengukur panas sebenarnya bersifat sangat subyektif. Artinya ia tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk menggolangkan apakah suhu seseorang panas, normal, atau dingin.

Seseorang dengan metabolisme tubuh rendah atau menderita anemia di mana suhu tangannya lebih dingin akan lebih peka bila meraba seseorang yang suhu tubuhnya tinggi dibandingkan dengan mereka yang metabolisme tubuhnya normal dan suhu tangannya lebih hangat.

Karena tingkat metabolisme dan mekanisme sirkulasi darah tiap individu bervariasi, sudah tentu mengukur suhu badan seseorang dengan punggung telapak tangan tidaklah tepat.
Karena itu setiap keluarga hendaknya menyediakan thermometer air raksa yang harganya relative murah. Alat pengukur suhu ini lebih bisa diandalkan. Dalam keadaan sangat medesak data tersebut bahkan bisa langsung dikonsultasikan ke dokter lewat telpon.

Mekanisme kekebalan

Suhu rata-rata tubuh normal dan sehat seseorang menurut beberapa peneliti Barat seperti Becquerel dan Berscher (1855) dan Wunderlich (1868) adalah 37 derajat celcius. Suhu tubuh normal seseorang sesungguhnya bervariasi tergantung pada waktu pengukuran (pagi, siang, atau malam), tempat pengukuran dalam rongga mulut, diketiak, atau dalam dubur), faktor usia serta tingkat metabolisme sebelum atau sesudah makan, sebelum atau setelah melakukan aktivitas fisik). Pengukuran ruhu dengan thermometer lewat rongga mulut atau dubur akan lebih tepat daripada lewat ketiak.

Suhu tubuh paling rendah pada pagi hari (05.00-06.00) dan paling tinggi senja hingga malam hari. Perbedaan udara suhu terendah dan tertinggi bervariasi, sekitar 0,3-1,5 derajat celcius. Semula perbedaan itu diuga hanya karena perbedaan cuaca, suhu serta kelembapan, ternyata juga karena faktor irama dijurnal (saat tidur dan saat melek) yang berkembang sejak usia 1-2 tahun dan berlangsung terus seumur hidup.

Suhu tubuh rata-rata orang dewasa di bawah 37 derajat celcius. Seorang peneliti 54 orang dewasa muda (usia 23 tahun) selama beberapa bulan dengan kesimpulan, nilai rata-rata suhu rongga mulut pada pagi haru 36 derajat celcius dan malam hari 36,8 derajat celcius. Peneliti lain, Dinarello dan Wolf dari Inggris melaporkan hasil penenlitian pada sembilan orang dewasa muda (22 tahun), dalam seharinya rata-rata suhu badan mereka 36,6 derajat celcius dengan nilai terendah 36,4 derajat celcius dan tertinggi 36,8 derajat celcius. Suhu rata-rata rongga mulut orang tua lebih rendah daripada orang muda, tetapi suhu duburnya sama.

Padahal suhu anus biasanya lebih tinggi daripada suhu rongga mulut. Perbedaan ini sangat bervariasi. Pada orang muda, suhu lubang keluaran itu rata-rata 0,55 derajat celcius lebih tinggi daripada suhu rongga mulut.

Ada anak usia kurang dari 12 tahun, suhu tubuh waktu malam hari sering lebih tinggi, rata-rata 37,4 derajat celcius. Sebagai pedoman kasar, melebihi 38 derajat celcius (antara 36 derajat cecius-38 derajat cecius) tidak perlu dirisaukan karena belum merupakan indikasi untuk diberi obat penurun panas, karena senarnya suhu yang agak panas malah diperlukan untuk pertumbuhan dan sebagai salah satu mekanisme untuk mempertahankan tubuh dari serangan infeksi atau masuknya benda asing ke dalam tubuh.

Hal ini pernah dikemukakan oleh seorang ahli imunologi-infeksi dari Belanda,
Van den Meer. Kemudian ia mengingatkan hendaknya pemakaian obat penurun panas terlalu dini berarti tidak memberikan kesempatan pada tubuh untuk melaksanakan fungsi mekanisme pertahanan tubuh (kekebalan). Kalau jamur yang sedang tumbuh (misalnya pada oncom dan tempe) menghasilkan panas dan membutuhkan kalori, demikian pula manusia. Tumbuh kembang anak lebih pesat daripada orang dewasa sehingga secara otomatis menghasilkan panas lebih banyak pula.

Menurunkan panas tanpa obat.

Untuk mengatasi demam lebih baik mengusahakan dulu dengan menyeka seluruh permukaan tubuh beberapa kali (terutama sewaktu suhu tubuh meningkat) dengan handuk kecil dibasahi air hangat. Tindakan ini akan melancarkan sirkulasi darah dan membuka pori-pori kulit sehingga memberikan kesempatan panas keluar dari tubuh ke lingkungan sekitarnya. Ruang ventilasi sekitarnya. Ruang ventilasi yang baik di mana udara berlangsung secara teratur atau kamar ber AC sangat dianjurkan untuk merawat penderita demam.

Pakaian yang sudah basah karena keringat bendaknya segera diganti dengan yang kering. Sebaiknya dari katun yang lebih mengisap keringat, bukan yang sintetis. Bila usaha ini tidak berhasil dan suhu badan mencapai 38 derajat cecius, barulah panas anti piretika). Dosis obat penurun panas jenis asetaminopen yang umum dijual di warung atau apotek adalah 10 mg/kg berat basan/hari dibagi 3 dosis (diminum 3 kali sehari).

Bila sudah diberi dua kali penurun panas dua kali tetapi suhu badan tetap belum turun juga, berkonsultasilah ke dokter. Mungkin demam yang diderita bisa karena infeksi bateri yang agak berat yang tidak bisa mengandalkan mekanisme kekbalan tubuh saja, tetapi memerlukan obat antibiotic. Biarlah dokter yang menentukan pemilihan obanya!

Sumber :INTISARI(kumpulan artikel kesehatan)



No comments:

Post a Comment