Cermati apa "pesan" anak di balik pengaduannya.
Sering, kan, begitu pulang ke rumah kita langsung mendapatkan dari si prasekolah, "laporan pandangan mata""Bunda, Kakak tadi mukul aku." Bukan hanya di rumah, di sekolah pun guru sering mendapatkan pengaduan dari anak-anak didiknya, "Bu Guru, Tito nakal!" atau "Bu Guru, Rio enggak mau menggambar tuh."
Umumnya, anak mengadukan hal-hal yang berasumsi negatif, seperti ketika mendapat perlakuan tak menyenangkan. Anak pun kemungkinan mengadukan nilai-nilai tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan pesan orangtua serta gurunya, contohnya mengadukan kakaknya yang berkata kasar/kotor.
5 ALASAN
Sebenarnya, perilaku mengadu yang ditemukan di usia sekitar 3-5 tahun adalah wajar. Selain didukung oleh perkembangan bicara anak yang sudah lancar, perilaku ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
1. Pembentukan Citra Diri
Menurut Kohlberg, dalam perkembangan moral di tahap awal, anak berusaha melihat apa yang boleh dan tidak boleh menurut aturan atau kebiasaan lingkungan. Hal ini juga terkait dengan perkembangan anak dalam proses pembentukan citra dirinya—untuk menunjukkan apakah ia anak baik ataukah tidak baik—dan si prasekolah sedang dalam tahap mengikuti nilai-nilai lingkungan jika lingkungan biasa memberikan respons positif terhadap perilaku anak yang positif. Dengan menunjukkan bahwa ia melakukan yang positif, maka anak berharap mendapatkan pujian atau penerimaan positif dari orang lain. Penerimaan diri ini merupakan hal penting baginya.
2. Cari Perhatian
Mengadu bisa juga dipakai sebagai salah satu cara untuk mendapatkan perhatian orangtua/guru. Bukankah dengan mengadu, maka orangtua/guru akan menanggapi dan memerhatikan kebutuhannya?
3. Memanipulasi Keadaan
Adakalanya anak mengadu untuk memanipulasi keadaan agar teman/adik/kakaknya dimarahi/dihukum. Jadilah ia mengadukan hal-hal yang tak benar. Contoh, dia mengadu dicubit oleh kakaknya sampai sakit padahal si kakak tidak melakukannya. Di sini ada unsur merugikan agar orang tersebut mendapatkan konsekuensi negatif. Biasanya terjadi karena hubungan anak dengan saudara tidak dekat. Jika anak merasa kurang diterima oleh lingkungan, maka cara itu dipakai untuk mendapatkan perhatian positif.
4. Minta Bantuan
Anak mengadu karena ingin minta tolong dari orang lain untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Misal, anak mengadu pada guru di sekolahnya karena temannya tidak mau berbagi mainan pasel. Ini terjadi karena anak kurang memiliki keterampilan sosial dalam menghadapi teman, yaitu melakukan negosiasi sederhana, mengajak anak lain, dan lain sebagainya.
5. Meniru
Tanpa disadari, sering kali perilaku mengadu dicontoh anak dari orangtua/lingkungan sekitarnya. Anak kerap melihat ayah/ibunya mengadukan hal-hal tak menyenangkan pada pasangannya. Bisa juga ketika si anak berlaku tak baik, ibu sebentar-sebentar berkata, "Nanti Mama bilangin ke Papa, lo!" Tak heran bila akhirnya anak pun ikut-ikutan "gemar" mengadu.
WAJAR & BER-LEBIHAN
Dalam batas wajar, perilaku mengadu memiliki nilai positif. Anak jadi tahu harapan lingkungan terhadap dirinya sehingga dia bisa bersikap seperti yang diharapkan oleh lingkungannya. Selain itu, anak memiliki sifat terbuka; dia mengungkapkan apa yang dihadapi dan diketahuinya.
Namun jika perilaku mengadu sudah berlebihan—anak selalu mengadukan apa pun, siapa pun, dan kapan pun—tentu jadi tak baik buat si anak. Dia bukan hanya akan dilabel sebagai "si pengadu" oleh lingkungan sekitarnya, tetapi juga dijauhi/tidak diterima oleh teman-temannya lantaran perilakunya itu banyak merugikan teman dan orang lain. Akibatnya, anak tidak mempunyai kesempatan dalam mengembangkan keterampilan sosialnya.
Dampak negatif lainnya, anak berkembang jadi sosok yang kurang mandiri, tidak punya konsep diri yang baik, kurang tahan banting dan jadi pribadi yang cengeng serta kurang percaya diri. Anak juga bisa terbentuk menjadi pribadi yang terbiasa cari selamat sendiri, bahkan tega "mengorbankan" orang lain. Apalagi bila orangtua/guru termasuk orang yang mudah termakan oleh pengaduan anak.
BERSIKAP BIJAK
Seiring bertambahnya usia dan perkembangan emosi yang berjalan baik, perilaku mengadu perlahan-lahan menghilang. Terutama di usia sekolah dimana anak sudah memiliki kelompok sebaya, selain juga keterampilan sosial dan kemandirian yang baik.
Akan tetapi, bukan berarti perilaku mengadu ini boleh diabaikan saja, karena anak akan merasa tak dipercaya. Akibatnya, bisa jadi ia malas bercerita dan menghindari sikap terbuka pada orangtua.
Sebaliknya, perilaku mengadu juga tak boleh ditanggapi secara reaktif karena anak akan merasa didukung. Akibatnya, anak akan mengulang-ulang perilaku tersebut. Ingat lo, dampak negatifnya!
Itulah mengapa, orangtua dituntut bersikap bijak dalam menghadapi pengaduan anak. Orangtua harus jeli melihat "pesan" apa yang disampaikan anak lewat perilaku mengadunya dengan mencari tahu faktor penyebabnya. Selain juga perlu menyaring, mana pengaduan yang memang harus ditanggapi serius dan mana yang tidak. Umpama, anak mengadukan dirinya mengalami kekerasan fisik, tentu perlu ditangani segera.
BILA TAK PERNAH MENGADU
Ada juga lo anak yang tak pernah mengadu. Bisa jadi karena dia tergolong tipe tertutup, tapi bisa juga karena memang tak ada masalah sehingga tak ada yang perlu diadukan. Walau begitu, orangtua tetap perlu waspada. Apalagi bila terlihat si anak sering murung. Bisa jadi dia punya masalah namun tidak berani bicara. Orangtualah yang perlu mendorong keberanian anak untuk bicara dan bercerita.
Ada banyak kemungkinan penyebab ketidakberanian tersebut. Bisa karena si anak adalah korban kekerasan teman/saudara/orang di sekitarnya. Biasanya, anak takut mengadu lantaran yang menjahilinya berbadan lebih besar, mengancam dan sebagainya. Akhirnya, ia memilih tak mengadu karena dianggapnya lebih aman.
Bila hal ini berlangsung terus, tentu sangat mengganggu, bahkan merugikan si kecil. Pastinya, anak akan merasa tak aman, tak nyaman dan selalu cemas. Ia tak punya tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Karenanya, orangtua harus peka mengenali setiap perubahan anak, sekecil apa pun.
Dedeh Kurniasih. Foto: Ferdi/nakita
Narasumber:
Indri Savitri, M. Psi.,
Kepala Divisi Konseling dan Edukasi LPT UI
Indri Savitri, M. Psi.,
Kepala Divisi Konseling dan Edukasi LPT UI
TIP MENYIKAPI PENGADUAN ANAK
* Ketahui "pesan" di balik pengaduan anak.
- Jika berkaitan dengan keterampilan sosial anak, maka ajari dan latih anak untuk dapat menyelesaikan masalah sesuai kemampuannya. Misal, anak mengadukan temannya yang tak mau berbagi, nah, ajari anak untuk berani bicara seperti, "Ayo dong giliran. Aku kan juga ingin main perosotan."
- Bila terkait dengan kemandirian, semisal, "Mama, si Mbak tuh tadi enggak mau ambilin baju Supermanku," maka ajari dan latih anak untuk mandiri. Anak perlu diberi pengertian mengapa dia harus belajar mengambil baju sendiri, memakai sepatu sendiri, makan sendiri, dan sebagainya.
- Jika merupakan usaha mencari perhatian ataupun memanipulasi keadaan, maka orangtua perlu melibatkan orang lain yang ada di sekitar anak untuk memberi masukan dan mengonfirmasi kebenaran pengaduan si anak contoh, menanyakan pada pengasuhnya tanpa diketahui.
- Jika pengaduannya berkaitan dengan pembentukan citra diri, misalnya, si prasekolah mengadukan kakaknya, yang mungkin tidak melakukan sesuatu yang dikatakan si adik. Maka, yang pertama kali orangtua harus lakukan adalah tidak memarahi anak secara berlebihan apalagi dengan sebutan pembohong. Kita tenangkan anak, ajak bicara baik-baik, "Dik, tadi Ibu sudah tanya sama Kakak, tapi ternyata kakak tidak melakukan seperti yang Adik bilang, ya? Kenapa Adik bicara ke Ibu seperti itu?" Lalu baca bahasa tubuh anak, kalau dia cemberut maka kita bantu dengan mengarahkan anak, "Adik gak suka Kakak, ya? Boleh Ibu tahu, kenapa?" Nah, dari situ kita bisa gali lagi informasi dari anak. Setelah anak menjelaskan alasannya dan masalahnya jelas, peluk anak sambil katakan, "Kalau Adik tidak suka, bilang saja tidak suka. Kita tidak boleh bilang hal-hal jelek yang orang lain tidak lakukan. Janji untuk tidak ulangi, ya?"
- Jika pengaduan anak berkaitan dengan peniruan, maka orangtua harus melakukan introspeksi, bagaimana sikap dan perilakunya selama ini dan kemudian bagaimana mengubahnya.
Orangtua tidak perlu menyikapi pengaduan anak secara berlebihan atau menganggapnya luar biasa. Jangan sampai anak merasa bangga karena pernyataan orangtua semisal, "Wah, Mama senang kamu mau menceritakan yang Mama tidak ketahui seperti itu." Atau dengan mengatakan, "Mama senang deh kalau kamu selalu melaporkan apa saja kelakuan si Mbak di rumah. Jadi, Mama bisa tahu si Mbak ngapain saja di rumah kalau Mama enggak di rumah." Bila seperti ini, maka anak akan merasa perilakunya dibenarkan. Nah, karena mendapatkan penguatan, maka ia akan lebih sering melakukannya.
Sebaiknya, tanggapi dengan wajar. Contoh, anak mengadu, "Bunda, Ari enggak mau beresin mainannya." Orangtua bisa meresponsnya dengan mengatakan, "Oh, iya terima kasih sudah diingatkan. Sekarang, yuk kita sama-sama bantu Ari membereskan." Jadi kita tidak perpanjang lagi pengaduan si anak. Atau di sekolah misalnya, "Bu Guru, Rio makanannya enggak dihabiskan." Guru bisa merespons dengan mengatakan, "Yuk, kita semangati Rio biar cepat menghabiskan makanannya."
* Tidak terpancing.
Jangan pula terpancing dengan pengaduan anak, melainkan terima saja informasi tersebut untuk jadi bahan referensi yang akan dikonfirmasikan kebenarannya. Umpama, si kecil mengadukan temannya yang mendorongnya di taman sehingga dirinya terjatuh. Orangtua jangan lantas percaya 100% begitu saja, tetapi coba cek dan klarifikasi dengan si teman yang diadukan oleh anak.
* Bila pengaduan si anak benar, minta ia bercerita.
Meski pengaduan anak benar dan orangtua merasa bangga dengan keterbukaan anak, namun jangan perlihatkan kekaguman tersebut di hadapan anak. Tapi mintalah anak menceritakan seperti apa detail kejadian yang diketahuinya, apa yang dilakukannya serta bagaimana perasaannya terkait dengan hal yang dia adukan. Jika orangtua melihat anak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, berilah ia pujian. Dengan begitu anak terpacu untuk tidak lagi mengadu karena dia yakin bisa menyelesaikan konflik yang terjadi dengan teman, kakak, ataupun adiknya. Kebiasaan anak bercerita mengenai pengalamannya, apa yang membuatnya kecewa, senang dan sebagainya, akan mengurangi perilaku mengadunya. Setelah anak bercerita, alihkan perhatiannya pada aktivitas lain. Yang penting orangtua sudah tahu masalahnya dan anak sudah bisa menyelesaikan problemnya.
* Bersikap sebagai penengah.
Bila anak mengadukan kakak/adiknya, orangtua harus bisa bersikap sebagai penengah. Klarifikasi pengaduan tersebut dengan memberi kesempatan pada masing-masing anak untuk membicarakan permasalahannya. Orangtua harus jeli melihat situasinya. Jika memang yang diadukan tidak benar, berilah teguran secara langsung kepada anak sehingga dia tahu bahwa perilakunya salah. Kemudian minta anak yang mengadu untuk meminta maaf. Orangtua harus berada di pihak yang netral, tidak memberi menghakimi dengan membela salah satu pihak.
* Perlu kerja sama dengan guru di sekolah.
Bila anak di rumah sering mengadu tentang temannya di sekolah, orangtua perlu berkomunikasi dengan guru sekolahnya. dengan begitu dapat diketahui masalah yang mendasarinya dan dilakukan penanganan yang tepat.
No comments:
Post a Comment