Sebuah penelitian menunjukkan, sekitar 60 juta anak Indonesia nonton TV selama berjam-jam hampir sepanjang hari. Tayangan yang dilihat mereka pun bervariasi, entah itu kriminalitas/kekerasan, pornografi, bahkan acara berbau mistis/ takhyul. Muatan-muatan “menyesatkan” tersebut tersebar di berbagai mata acara, seperti sinetron, berita, aksi laga, bahkan film kartun sekalipun. Coba bayangkan, bagaimana bila buah hati kita mesti menyantap tayangan TV yang jelas-jelas minim nilai positifnya tersebut.
Yang jelas, hingga sekarang program tayangan TV sedikit sekali memberikan nilai edukasi pada masyarakat. Kalau dihitung-hitun, 80% program tayangan TV bersifat hiburan. Siaran dalam bentuk senetron, komedi dan lainnya tadi ditayangkan pada jam-jam di saat anak nonton TV.
Masalahnya sekali lagi, muatan cerita yang disuguhkan sungguh tidak bermakna. Penonton, dalam hal ini anak-anak, semata-mata dipuaskan pada beberapa hal, yaitu gelimang darah, linangan air mata, hal-hal yang berbau seks, dan takhyul.
Memang sih tak semua acara TV memberi dampak negative. Akan tetapo kuantitas acara TV yang bermanfaat bagi anak masih sangat rendah. Padahal seperti dikethui, TV seharusnya menjadi salah satu media belajar bagi anak dan bisa memberi pengaruh positif terhadap tumbuh kembangnya. Dulu, ada program acara seperti “Galileo” yang penuh dengan edukatif karena memperkaya wawasan para siswa. Sayangnya, acara-acara bermanfaat seperti itu justru sering hanya berumur pendek. Tak heran kalau sampai sekarang tayangan yang bisa menambah wawasan atau pemahaman anak tentang suatu hal sangat sedikit porsinya.
Seharusnya alokasi program acara pendidikan, hiburan dan komedi yang sehat memang ditingkatkan porsinya. TV selayaknya ikut dalam membangun dan mencerdaskan bangsa, bukan malah menebar pembodohan, pelecehan kekerasan, takhyul sejenisnya. Bagi sebagian besar masyarakat, TV menjadi sumber utama mendapatkan informasi. Sementara, pembaca surat kabar atau media massa hanya sekitar 10%.bahkan pembaca buku lebih sedikit lagi persentasenya.
Kekerasan
Seperti tayangan WWF (smackDown) sudah dihentikan. Itu pun setelah marak menuai protes karena muncul korban di sana-sini akibat dampak tontonan kekerasan tersebut. Perlu disadari, muatan kekerasan tak melulu dari film atau sinetron dewasa semata, tapi juga muncul pada tayangan yang notabene untuk anak-anak. Kalau diperhatikan, film-film kartun juga sarat dengan aksi kekerasan.
Anak belum memiliki kemampuan untuk menganalisis apa yang ditontonnya. Lantaran itu anak begitu saja menyaring atau menerima mentah-mentah apa yang dilihatnya itu. Selanjutnya, si anak meniru perilaku atau sikap dari sosok tayangan yang disaksikan. Dia praktikkan kekerasan pada teman atau anak lain yang kecil, lemah dan lebih muda usianya. Konkretnya, tayangan kekerasan muncul dalam berbagai sinetron. Kerap digambarkan bagaimana seseorang yang memarahi anaknya disertai perlakuan kasar seperti menghina, memukul, membentak bahkan menendang.
Di Amerika Serikat, sekitar tahun 70-an, diteliti bahwa anak yang sering menonoton tayangan kekerasan menjadu kurang peka terhadap orang lain, sulit mengendalikan diri, mudah terpancing emosinya gampang tersulut untuk menyakiti orang lain, takut menghadapi lingkungan, tak memiliki sifat lembut, dan sebaliknya cenderung jadi agresif atau berperilaku kasar. Anak juga jadi cenderung suka menentang, melawan dan sulit diajak menjalin kerja sama.
Di Indonesia, tayangan kekerasan telah makan beberapa “korban” di antaranya bocah yang patah kaki atau tulang rusuk bahkan meninggal. Akan tetapi yang juga penting untuk diperhatikan tentulah tak semata dampak fisik. Melainkan dampak psikologis, yakni anak-anak yang patah dan mati jiwanya karena dampak tayangan kekerasan seperti itu.
Pornografi atau seks
Contoh konkretnya, tayangan sinetron yang menampilak anak-anak sekolah berpacaran. Mereka tak hanya berpegangan tangan atu berpelukan tapi sampai tak malu-malu lagi berciuman.
Serupa dengan tayangan kekerasan, pornografi pada tayangan TV sangat berpengaruh pada faktor kejiwaan anak. Tontonan tersebut direkam dam otak kecil. Jangan heran kalau kemudian anak menganggap seks atau pornografi menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah terjadi.
Minim nilai-nilai positif
Berbagai tayangan di TV juga malah mengajarkan kebencian, permusuhan, dendam dan sebagainya. Tidak ada lagi sikap simpati, empati atau bekerja sama. Belum lagi bahasa yang digunakan sudah melewati kaidah yang baik dan benar. Mereka lebih condong menggunakan bahasa “gaul”. Alhasil, berbincang dengan orang tua pun bahasanya tak lagi mengindahkan batas sopan santun.
TV kini selatif sangat jarang menayangkan muatan yang bernilai positif, seperti gotong royong, dinamisme, kreativitas, ambisi dan kegigihan untuk berhasil, menhargai kejujuran, taat pada hukum dan nilai-nilai agama. Karena itulah, anak-anak akan sangat berpotensi kehilangan keceriaan dan kepolosannya lantaran masuknya permasalahn orang dewasa dalam keseharian mereka. Akibat lebih jauh sering terjadi gangguan psikologis dan ketidak seimbangan emosi.
Mistik dan takhyul
Tayangan mistik atau takhyul di TV, bahkan film bioskop tentang hantu dan sejenisnya pun laris manis diserbu penonton. Padahal program acara mistik ini tentu menayangkan gambar-gambar yang tak masuk akal. Terlebih lagi merendahkan akal sehat. Bagi anak-anak boleh jadi tayangan seperti ini justru membuatnya selalu diliputi rasa takut akan hantu dalam berbagai bentuknya.
ANDAI KITA DAN ANAK TAK MENONTON TV
Saat ini siapa sih yang tidak kenal TV? Perangkat elektronik in telah menjadi salah satu benda yang “wajib” dimiliki. Bahkan tidak jarang dijumpai dalam satu rumah terdapat dua atau lebih pesawat TV guna memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarga mnyaksikan tayangan yang disajikan. Dengan kondisi ini, TV menjadi benda pelengkap rumah tangga yang digemari. Apalagi mengingat fungsinya sebagai sarana hiburan dan informasi yang cukup murah, terjangkau, dan dapat dinikmati di rumah oleh setiap orang. Hanya saja, kehidan TV dengan berbagai tayangan yang sangat beragam menjadi dilemma tersendiri.
Belakangan ini semakin banyak peristiwa yang tidak diharapkan terjadi akibat pengaruh nonton tayangan TV. Ya, TV beserta tayangan-tayangan memang berdampak bagi yang sifatnya positif maupun negative. Sebut saja tayangan film kartun untuk anak-anak. Di satu sisi, program ini memberi hibauran yang menyenangkan dan mudah dicerna anak. Selain dapat membantu orang tua menenmkan nilai-nilai social yang terkandung di dalamnya.
Akan tetapi di sisi lain, tayangan yang sama dapat membuat anak belajar mengenai hal-hal lain yang tidak diharapkan orangtua, seperti kekerasan, serta gaya hidup dan perilaku konsumtif. Bahkan cukup banyak anak yang kemudian menjadi sangat tergantung pada tayangan TV, yang pada akhirnya mengurangi waktu/kesenangan mereka melakukan kegiatan positif lainnya. Jadwal untuk belajar, bermain, danistirahat disesuaikan agar tidak bentrok dengan waktu penayangan acara TV kegemarannya.
Belum lagi pengaruhnya terhadap kesehatan mata ataupun kesehatan fisik anak secara keseluruhan. Jarak antara tempat duduk dan pesawat TV yang terlalu dekat serta kebiasaan ngemil sambil nonton menjadi faktor penyebabnya. Anak terbiasa untuk duduk pasif menikmati tayangan TV sambil secara tidak sadar manghabiskan kudapan dalam jumlah cukup besar. Memang bagi sebagian anak menonton acara TV tanpa disertai kudapan ringan jadi terasakurang banyak mengasyikkan. Mereka jadu kurang banyak melakukan aktivitas fisik lainnya, sehingga kurang terampil. Sayangnya, masih banyak orangtua dan pengasuh yang menggunakan TV sebagai sarana untuk membujuk anak agar “duduk tenang” menghabiskan waktu atau menghabiskan makan siangnya.
Padahal ada film kartun tertentu yang menampilkan adegan di mana si tokoh utama membanting atau memukul temannya hingga “gepeng” sejenak, namun beberapa saat kemudian si teman tadi bangkit dan hidup kembali. Adegan tersebut dapat saja ditiru anak. Anak memukul teman sekolahnya dengan pengetahuan bahwa perilaku tersebut tidak akan berakibat negative bagi temannya.
Contoh lainny, penggambaran adegan seorang superhero yang dapat terbang dengan menggunakan jubah bersayap. Setelah menyaksikan adegan superhero idolanya, anak mungkin saja akan mencoba terbang juga dengan menggunakan kain yang digunakan sebagai sayap, dan meloncat dari atas tempat tidur. Hal-hal seperti ini sangat mungkin terjadi mengingat tingkat perkembangan kognitif anak yang masih berada pada tahap konkret operasional. Artinya, anak belajar dan menyerap sesuatu dari hal-hal yang dilihatnya secara langsung dan nyata. Sengan kemampuan dan pola berpikir yang masih terbatas, anak censerung menerima begitu saja setiap informasi yang disampaikan lingkungan.
TV, dengan segala dampak positif dan negativenya menjadi sulit untuk dilepaskan dari anak. Mereka memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar. Melarang anak mendekati TV hanya akan membuat merka semakin penasaran dan mencoba untuk melakukannya secara diam-diam. Selain itu pengaruh teman sebata yang menonton tayangan TV juga tidak bisa diabaikan. Kekhawatiran bahwa ia akan dinilai ketinggalan informasi superhero terbaru maupun ketakutan dianggap “nggak gaul” oleh teman-temannya juga dapat mempengaruhi tingkat kebutuhan anak pada TV.
DIET TV
Agar dapat memanfaatkan segi positif TV sekaligus meminimalkan dampak negatifnya, berikut beberapa hal yang perllu dilakukan :
- Orang tua harus aktif dalam menyeleksi tayangan apa saja yang boleh ditonton anak. Untuk itu, para orangtua perlu memiliki referensi mengenai program TV yang ada.
- Dampingi anak saat menonton TV. Jangan biarkan mereka menyaksikan tayangan TV sendiri tanpa didampingi orang dewasa. Anak-anak belajar banyak hal dari TV dengan cara yang berbeda dibanding orang dewasa karena tingkat kognitifnya yang masih terbatas. Disinilah peran orangtua untuk mengidentifikasi apa saja yang ditangkap anak dari suatu tayangan tertentu sekaligus meluruskan pemahamannya yang salah. Selain itu, adalanya penjelasan mengenai nilai-nilai dari suatu tayangan dapat juga membantu anak mengembangkan keterampilan seosialnya. Tayangan film kartun belum tentu aman untuk dikonsumsi anak. Pada film kartun terdapat nilai-nilai yang mungkin saja berbeda dari nilai yang orangtua harapkan dapat berkembang dalam diri anaknya.
- Lakukan “diet TV”. Batasi waktu, durasi, serta program acara apa saja yang boleh dan tidak boleh ditonton anak. Dengan begitu anak dapat tetap memanfaatkan TV sebagai sarana hiburan dan belajar tanpa membuat mereka jadi tergantung dan mengabaikan kegiatan lainnya. Sesuaikan “diet TV “ ini dengan usia dantahap perkembangan anak. Idealnya, lama waktu menonton TV bagi anak 2 jam setiap harinya, sengan dengan membagi-bagi durasi tersebut dalam beberapa bagian (tidak sekaligus). Dalam diet TV, satu hal yang paling penting orangtua memberi contoh bahwa mereka pun tidak membiarkan pesawat TV nya menyala terus menerus.
- Supaya anak tidak ketagihan menonton TV, imbangi dengan kegiatan lainnya yang dapat menggali berbagai potensi anak. Misalnya, mengajak anak bermain peran denganmenggunakan boneka tangan. Aktifitas ini dapat membatu mengembangkan becerdasan interpersonal dan kecerdasan linguistiknya. Atau mengajak anak membantu menurus taman dapat merangsang perkembangan kecerdasan natural, bodily kinaesthetic spasinya.
Sumber : Dr.Roesmini A.P, M,Psi. (NAKITA/404.2006)
No comments:
Post a Comment