Tuesday, March 16, 2010

SEPERTI APA, SIH, REAKSI EMOSI PADA BAYI



Jangan salah, bayi pun bisa menunjukkan emosinya. Entah yang baik maupun tidak. Asalkan ditangani dengan baik, reaksi emosi yang jelek tak bakalan menetap hingga besar.

Sering, kan, melihat bayi menangis kala ia lapar. Sebelum diberikan susu, ia tak akan berhenti menangis, bahkan tambah keras. Tapi bila kebutuhannya segera dipenuhi, akan berhenti tangisnya.


Nah, menangis pada bayi, selain sebagai salah satu bentuk komunikasi prabicara untuk memberitahukan kebutuhan/keinginannya, juga untuk menunjukkan reaksi emosinya terhadap suatu keadaan yang tak menyenangkan. Reaksi emosi bayi yang demikian, menurut Dra. Dewi Mariana Thaib, sebetulnya masih wajar, karena si bayi bereaksi terhadap suatu keadaan yang tak menyenangkan, yaitu lapar. "Hanya saja, kalau reaksinya berlebihan, semisal menangis terus, meski sudah diberikan susu, berarti ada sesuatu pada dirinya. Apakah dia sakit atau ada suatu kelainan pada sarafnya," terang psikolog dari RS Bunda, Jakarta ini.

Sangat penting bagi orang tua untuk mengetahui dan mengenal reaksi emosi bayinya. Sebab, reaksi emosinya ini akan berpengaruh pula nantinya pada kehidupan si anak, terutama pada penyesuaian pribadi dan sosialnya. "Di usia satu tahun pertama ini, bayi sedang beradaptasi dengan udara, makanan, dan lingkungan sekitarnya. Di usia ini pulalah emosinya mulai berkembang." Itulah mengapa, orang tua harus memperhatikan betul kebutuhan fisik dan mentalnya, sampai sekecil apa pun.

DAPAT DIBEDAKAN

Pada awalnya, terang Dewi lebih lanjut, saat lahir, reaksi emosi bayi masih sederhana, yaitu hanya mengungkapkan emosi kesenangan dan ketidaksenangan. "Ia akan bereaksi senang bila kebutuhan menyusunya terpenuhi, dengan mengeluarkan suara yang tampak puas. Sebaliknya, ia akan bereaksi tak senang dengan menangis bila popoknya basah."

Yang pasti, pada bulan-bulan pertama, ia tak memperlihatkan reaksi secara jelas, yang menyatakan keadaan emosinya yang spesifik. Misal, marah. Semua rasa ketidaksenangan akan diekspresikan dengan tangisan. "Nah, pada bulan-bulan pertama ini, respon orang tua terhadap bayi pun akan berpengaruh nantinya. Misal, jika pemberian susunya terlambat sementara bayi sangat lapar atau popoknya basah didiamkan saja, maka bayi akan merasa tak nyaman. Meski dia hanya bisa bereaksi dengan menangis, tapi bibit-bibit emosi rasa kecewa dan marah mulai timbul."

Mulai usia dua bulan bayi bisa bereaksi tersenyum bila dirinya merasa senang atau gembira. Usia tiga bulan mulai bisa bereaksi dengan mengeluarkan bunyi-bunyi yang mengungkapkan kekesalan, bila dirinya kesal atau marah, semisal, dia tak bisa menggapai mainannya. Kadang juga diungkapkan dengan tangisan dan jeritan.
Usia 6-9 bulan sudah mengenal rasa takut. Bukankah saat itu ia sudah mengenal orang-orang di sekitarnya? Hingga, kalau ia ditinggal oleh orang tuanya, ia akan merasa takut dan mulai mengeluarkan suara-suara ketakutan atau menangis.

"Pokoknya, makin usia bayi meningkat, reaksi emosinya makin dapat dibedakan dan bertambah. Sebab, sejalan dengan bertambahnya umur dan semakin matangnya sistem saraf serta ototnya, bayi pun mengembangkan berbagai reaksi emosinya." Misal, kalau di usia 2 bulan emosi kegembiraannya diungkapkan dengan tersenyum saja, maka makin lama dia bisa mengekspresikan kegembiraannya dengan mengeluarkan suara-suara ataupun tertawa kala diajak bicara oleh orang tuanya. Bahkan, ketika dia sudah bisa jalan dan berlari, bila ada timbul rasa gembira, dia bisa melonjak-lonjak atau berlari-lari.

Demikian pula dengan emosi takut. Biasanya bayi takut dengan kamar gelap, binatang, berada sendirian, serta orang yang asing baginya. Mungkin awalnya, kalau takut ia hanya bereaksi dengan menangis. Seolah dirinya tak berdaya dan seperti meminta tolong. Makin bertambah usia dan motoriknya pun berkembang, ia bisa bersembunyi di balik tubuh ibunya atau memeluk ibunya, menarik selimut untuk menutupi wajahnya, atau berlari menghindar dari sesuatu yang membuatnya takut.

Akan halnya rasa marah, misal, di usia 6 ¬9 bulan, kala bayi sudah bisa melempar benda atau menghentak-hentak kakinya, ketika emosi marahnya terangsang, bisa saja reaksinya dengan melempar. Ketika reaksi tersebut dirasa menyenangkan dan dapat memuaskan emosinya, maka akan diulang kembali. "Nah, untuk mengetahui apakah si bayi memang betul-betul dalam emosi marah atau hanya ingin mencoba-coba melempar benda dalam arti dirinya sedang bereksplorasi, tentunya orang tua harus melihat, apakah memang ada kebutuhannya yang tak dipenuhi atau ada sesuatu yang membuatnya marah ataukah tidak."

MASIH BISA DIUBAH

Jadi, orang tua harus mengetahui dan mengenal reaksi emosi bayinya, entah yang baik maupun tidak. Jangan sampai, reaksi emosi yang jelek berlanjut sampai si bayi besar. Pasalnya, nanti anak akan belajar menggunakan reaksi ini sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Apalagi di masa-masa emosi sulit, yaitu usia 0 hingga balita. Bukankah tak jarang kita lihat, anak kecil yang kalau marah tiduran di lantai, duduk menghentak kaki, memukul, atau melempar segala macam benda?

"Sebetulnya, bila baru berusia sampai setahun, emosi bayi masih bisa berubah karena baru muncul dan baru akan berkembang," kata Dewi. Itulah mengapa, orang tua harus tetap waspada dengan emosi bayinya. "Jika ada reaksi emosinya yang kurang baik, paling tidak, kita bisa menekannya atau meminimalkannya." Dengan kata lain, orang tua harus melatih pengendalian diri anak sejak dini.

Tapi melatihnya harus dengan konsekuen, lo. Misal, bila bayi ingin minum susu dan menangis tak sabar, maka ibu harus segera meresponnya. Kalaupun harus membuatkan dulu susu botol, maka buatlah di dekat si bayi sambil mengajaknya bicara. Misal, "Iya, sabar, ya, sayang. Ini Ibu sedang buatkan susunya. Ibu tahu, kok, kalau Adek lapar."

Bila si bayi sudah bisa merangkak dan kita lihat tampaknya dia kesal karena sulit menggapai mainan yang diinginkan, maka kita bantu untuk memudahkan dengan cara mainannya didekatkan. Ketika dia sudah bisa meraihnya, kita beri pujian, "Hore! Pintar anak Mama. Capek, ya? Ayo, kita duduk dulu."

Begitu juga kalau si bayi sudah mulai banyak motoriknya, seperti bisa jalan atau lari. Bila reaksi marahnya dengan cara fisik, seperti menendang, melempar, atau memukul, maka kita harus selalu memberi pengertian. "Kalau kamu marah, tidak boleh seperti itu. Nanti kaki kamu jadi sakit kalau menendang kursi itu. Kenapa kamu marah? Bilang, dong, sama Ibu." Jadi, anak dilatih untuk dapat mengendalikan fisiknya. Hingga nantinya kalaupun dia marah, mungkin tak sampai bereaksi berbahaya dengan fisiknya. Mungkin hanya mimik mukanya saja yang tampak memerah.

Menurut Dewi, biasanya seiring usia bertambah, reaksi emosi dengan menggunakan gerak fisik/otot makin berkurang. Apalagi ketika anak sudah bisa bicara, maka reaksi emosinya akan diwujudkan dengan reaksi bahasa yang meningkat.

JANGAN BANYAK LARANG

Namun, dalam melatih atau mendidik emosi anak, disarankan tak banyak larangan karena akan menimbulkan rasa takut pada anak. Misal, "Adek, jangan main ke situ, ada kecoa, lo. Nanti digigit!"
Sebetulnya, papar Dewi, usia bayi belum menyadari ada tidaknya bahaya bagi dirinya, tapi karena mimik muka ibunya dan nada suaranya menakutkan, maka mengkondisikan si bayi akan rasa takut. "Larangan boleh saja kalau memang ada yang membahayakan. Kalau tidak, sebaiknya dihindari." Namun, dalam memberitahukannya harus dengan bahasa dan mimik muka yang baik.

Yang jelas, bila sejak bayi dilatih pengendalian emosi dengan baik, maka reaksi emosinya bisa ditanganinya dengan baik pula. Meski mungkin sifat jeleknya tetap ada, tapi tak terlalu menonjol. "Jadi, ini merupakan tindak pencegahan pula dari reaksi emosi negatif yang tak diinginkan."

Ingat, lo, bila tak sejak dini kita melatihnya, maka akan sulit mengubahnya ketika anak bertambah usianya. Bahkan mungkin saja reaksi emosi tersebut akan menetap sampai si anak dewasa. Tentunya kita tak menginginkannya demikian, kan, Bu-Pak?

No comments:

Post a Comment