Berdasarkan pasal 78 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur (pedofilia) dapat dikenai hukuman pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda 300 juta. Namun rupanya ancaman itu tak membuat para pelaku ngeri.
Buktinya, angka kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat. Yang lebih menyedihkan lagi sebagian besar pelaku adalah orang dikenal, termasuk orang tua dan saudara dekat.
Beberapa kasus seksual terhadap anak, antara lain kasus Babe yang telah melakukan kekerasan seksual dan diakhiri dengan memutilasi korbannya yang mencapai puluahan anak, dan James (wisatawan Amerika) yang telah melakukan kekerasan seksual terhadap 180 anak miskin di Bali selama 4 tahun. Selain itu, ada pula kasus Toni, mantan diplomat Australia yang terbukti melakukan sodomi terhadap 2 anak SMP setempat.
Memang, akhir-akhir ini terdengar kasus pedofilia yang menghebohkan dan menyita perhatian public yaitu kasus Babe, bahkan sebelum Babe adapula kasus Robot Gedek. Bahkan dalam suatu kesempatan, Menteri Negar Pemberdayaan Perempuan, menyatakan, angka kekerasan seks terhadap anak terus meningkat. “Bali disinyalir sebagai daerah dengan angka kasus tertinggi. Tampaknya kelainan seks yang awalnya dibawa turis asing semakin menular ke penduduk Indonesia,” ujar Bu Menteri prihatin.
Senada dengan Bu Menteri, kepala Rumah Sakit Polri Sukanti Dr. M. Aidy Rawas juga mengatakan angka kekerasan seks terhadap anak cenderung meningkat. Berdasarkan data, selama tahun 2003 rumah sakit tersebut menerima sekitar 60 kasus. Tahun 2004 angkanya meningkat menjadi 94, sementara di tahun 2005 ada 125 kasus. Untuk tahun 2006, sampai bulan maret saja sudah tercatat 46 pasien korban kekerasan seks. “Dari data tersebut terdapat kita lihat ada peningkatan signifikan setiap tahun. Ini sangat memprihatinkan, “ ucapnya.
Dalam beberapa kasus di Indonesia, terutama, terutama di Bali, pelaku pedofilia diketahui warga Negara asing. Namun pada kenyataannya, bukan hanya warga asing saha yang “berkompeten” menjadi pelaku. “Berdasarkan data pasien yang datang ke umah sakit kami, kebanyakan pelaku justru orang dikenal (63%). Setelah itu baru orang-orang tak dikenal (19,2%). Yang menyedihkan, banyak pelaku pedofilia tak lain orang tua mereka sendiri (9,6%) atau saudara dekat (8,5%),” demikian papar pria kelahiran palembang, 12 Agustus 1953 tersebut.
Indonesia Jadi Tujuan Wisata Seks
Nada keprihatinan juga disuarakan Dr. Zarfiel Tafal M.P.H, ketua Pokja Pengkajian dan Pengembangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ia melihat saat ini semakin banyak orang dewasa, yang mencari kepuasan seks lewat anak-anak atau pedofilia. Bahkan menurut Zafiel, banyak turis yang datang ke Indonesia khusus untuk memuaskan hasrat tak normal itu. Saking banyaknya, sampai-sampai Zarfiel menggunakan istilah “wisata seks anak” untuk menggambarkan maraknya bisnis pedofilia. “Saat ini anak-anak telah ikut dijadikan objek pelampiasan nafsu orang dewasa. Ini tidak bisa diterima dan digolongkan kejahatan, “tegas ayah 2 anak tersebut.
Sebagai pemerhati masalah anak, Zarfiel sangat menyayangkan perhatian Negara terhadap kasus kekerasan seks pada anak yang ia nilai minim. Salah satu contoh yang disebut dosen Fakultas Kesehatah Masyarakat UI tersebut adlah masih banyaknya anak jalanan. Padahal anak-anak inilah yang paling potensial dijadikan korban pedofilia. “Kita seharusnya mencontoh Thailand. Disana tidak ada lagi anak jalanan. Peminta-minta biasanya biksu atau pendeta Budha. Itupun hanya dilakukan selam 6 bulan,” jelas pria kelahiran Pekan baru, 22 Maret 1949 ini.
“Masyarakat Indonesia saat ini telah kehilangan norma-norma yang berlaku sebelumnya. Misalnya hukum-hukum adapt mulai menghilang, sedangkan penggantinya belum ada. Untuk hukum-hukum positif sendiri sangat lama sekali dihasilkan oleh pihak yang berwenang. Jadi bisa dikatakan di Indonesia ini semuanya serba terlambat, “ lanjutnya menyesal.
Pihak KPAI sendiri telah mensinyalir beberapa daerah yang dijadikan kantong-kantong wisata seks anak antara lain Bali, Yogyakarta, Surabaya, Riau dan Medan. Para sendikatnya telah terorganisasikan secara baik. Untuk itu pihaknya menjalin kerja sama dengan bagian Bareskrim Polri untuk tindak lanjutnya.
Untuk menanggulangi masalah ini ia menilai perlu adanya pemberdayaan di masyarakat. Langkah yang harus diambil untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seks adalah “menyediakan” hukum, yang tegas dan konkret. Selain itu pemerintah harus membuat undang-undang yang akan membuat anak Indonesia merasa aman dan terjaga.
Bali termasuk salah satu wilayah tempat kasus pedofilia kerap ditemukan. Diakui Kabid Humas Polda Bali, Komisaris Besar Polisa A.S REniban SmlK. Meski, ia mengelak jika disebut marak. “Kasus ini merupakan delik aduan. Jadi kalau ada masyarakat yang mengadukan, baru kita bisa menindak. Kasus yang terakhir ditangani terjadi pertengahan 2005. sampai saat ini belum ada lagi. Jadi rasanya tidak bisa dibilang marak juga. Yang pasti pihak kami terus memantau jangan sampai kasus serupa terulang,”katanya.
Berdasarkan data, korban pedofilia biasanya anak berusia antara 9-16 tahun. Sedangkan pelaku pedofilia umumnya orang dewasa diatas 40 tahun. Yang paling memiriskan pelaku pedofilia di Bali yang dulunya lebih banyak datang dari turis asing, sekarang mengalami pergeseran. Beberapa pelaku yang tertangkap ternyata penduduk local yang biasa berinteraksi dengan turis asing. “Bisa dibilang, perilaku negative itu merupakan imbas dari interaksi yang terjadi antara penduduk local dengan wisatawan asing,” tutup REniban.
Tinggalkan Luka Mendalam
Wajar rasanya jika ketua Pokja KPAI Zarfiel terus menerus mengingatkan masyarakat bahwa masalah kekerasan seksual pada anak merupakan hal penting. Efek yang ditimbulkan memang mengkhawatirkan. Menurut psikolog Ratih Andjayani Ibrahim, Psi.M.M dari Universitan Indonesia, kekerasan seksual pada anak yang dilakukan kaum pedofilia akan meninggalkan efek traumatic mendalam di hati anak bersangkutan.” Semakin muda usianya, semakin dahsyat pula bekasnya,” tegasnya.
Menyembuhkan jiwa seorang anak korban pedofilia, menurut psikolog bertubuh jangkung itu, tidak mudah, “Membutuhkan terapi dan konseling sangat panjang. Pada prinsipnya begini, luka fisik bisa kita lihat dan ukur kadar kesembuhannya, tetapi tidak demikian dengan luka jiwa. Kita bisa bilang sudah sembuh, tetapi itu belum tentu benar karena tidak ada kepastian, “urainya.
Jiwa itu, imbuh Ratih, seperti gelas. Jika pecah memang bisa ditambal, tetapi bekasnya akan tetap terlihat. Lem dan peralatan canggih takkan mampu membuat gelas itu kembali ke keadaan semula. Seandainya ditambal sengat rapi pun, gelas itu tetap rapuh dan tidak sekuat sebelumnya. Begitulah jiwa manusia, terutama anak-anak. Jika sudah terluka, sulit untuk disembuhkan seperti sediakala. “Tetapi paling tidak dengan proses penyembuhan menyeluruh, dampak kerusakannya bisa diminimalkan,” terang Ratih.
Terima Dan Hargai Anak
Agar efek dari peristiwa traumatic tidak semakin parah, Tatih mengingatkan agar segera dilakukan proses penyembuhan secara menyeluruh. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah meminta jasa psikolog utnuk melakukan pemdampingan.
Namun, menurut Ratih, jangan anggap dia sudah cacat. Apa pun yang terjadi p[ada dirinya, seburuk apa pun itu, dia tetap makhluk berharga. Orang tua juga harus menjaga agar proses penyembuhan dilakukan terus menerus dan komprehensif. Meski kondisi anak terlihat sudah membaik, proses penyembuhan danpendampingan perlu terus dilakukan. “Sekali lagi saya tegaskan, luka di jiwa anak sulit dihilangkan. Memang anak-anak memiliki kemampuan sembuh lebih cepat, tapi kita tetap harus waspada. Kita tidak pernah tahu persis. Orang tua atau orang terdekat harus mencermati setiap gejala yang ditunjukkan anak. Lihat gambar-gambar yang iabuat, cerita yang ia sampaikan, warna tadinya ceria tiba-tiba murung, atau tadinya pendiam tiba-tiba rewel, perlu diberi perhatian lebih. Jangan-jangan ada yang mengganggu hatinya. Dengan memperhatikan hal-hal kecil, kita bisa lebih cepat mengatasi jika ada gangguan pada perkembangan jiwa anak,” jelasnya
Terakhir, Ratih menyarankan agar jika terjadi kekerasan seks, jangan menyalahkan anak. Terima dia apa adanya dengan menciptakan suasana kondusif dan komunikatif dalam keluarga. Bantu anak untuk bangkit dari trauma dengan menunjukkan bahwa dirinya begitu berharga. Jika merasa dihargai, dalam diri anak akanterbentuk imunitas atau antibody sendiri. Dengan demikian si anak akan memiliki kemampuan indivedu untuk menyembuhkan dirinya sendiri. “Dengan penerimaan dan sikap menghargai yang tinggi, diharapkan bekas luka dantrauma pada diri anak bisa hilang atau paling tidak berkurang,” tutupnya.
Ratih Andjayani Ibrahim, Psi.M.M Korban Pedofilia Berpotensi Menjadi Pelaku “Anak yang debesarkan dalam keluarga yang selalu menyalahkan, akan cenderung menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi. Tetapi, anak dari keluarga permisif atau cuek, mungkin akan berbeda. Kalau yang menjadi korban anak laki-laki meungkinaia akan jadi pelaku kekerasan tertentu. Tetapi kalau yang kena anak perempuan, mungkin ia justru jadimenginginkan sosok jauh lebih tua. Ini semua baru kemungkinan karena tidak ada formula pasti. Tergantung jiwa masing-masing anak,”jabarnya. Apakah mungkin anak korban pedofilia menjadi pelaku di kemudian hari? “Mungkin saja. Apalagi kalau kejadiannya berulang-ulang. Pasti ada perilaku tertentu dari perilaku yang diadopsi si anak.”sebagai gambaran, ia menceritakan satu contoh kasus yang pernah ia tangani. Sebenarnya si anak merasa tidak nyaman dengan perilaku ayahnya. Tetapi karena berlangsung cukup lama, tanpa didadari ia justru mengadopsi perilaku negative tersebut. “selain itu anak korban kekerasan seks bisa tumbuh menjadi pribadi introvert, sangat ingat, semua itu hanya kemungkinan. Tetap saja tidak ada yang bisa mengetahui pasti ujungnya seperti apa,” paparnya. |
Sumber:Kartini2167/2006
No comments:
Post a Comment