Saturday, May 7, 2011
PERNIKAHAN PENGIDAP HIV/AIDS
APA HUKUMNYA?
Penyakit HIV/AIDS dapat dijadikan alasan untuk menuntut perceraian apabila salah satu dari suami istri menderita penyakit itu.
Jumlah pengidap HIV/AIDS di tanah air terus meningkat. Pada 2010, diperkirakan pengidap HIV/AIDS mencapai 93 ribu hingga 130 ribu orang. Angka itu hanyalah fenomena gunung es. Sebab, jumlah pengidap HIV/AIDS yang tampak hanyalah 5-10 persen.
HIV/AIDS telah menyebar di hampir seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Kenyataan itu tentu amat memprihatinkan. Ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk merawat, mengobati dan memperlakukan pengidap HIV/AIDS secara manusiawi, tetapi tak mengorbankan pihak lain tertular penyakit yang belum ada obatnya itu.
Sebagaimana layaknya manusia biasa pengidap HIV/AIDS tentu saja masih memiliki keinginan untuk menikah. Lalu bagaimana pandangan hukum Islam terhadap masalah itu? bolehkah pengidap HIV/AIDS menikah dengan orang yang tak menderita? selain itu, bagaimana pula hukum pernikahan antar sesama pengidap HIV/AIDS.
Guna menjawab pertanyaan itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa terkait masalah itu. Fatwa MUI yang mulai berlaku pada 24 Juni 1997 itu secara rinci membahas masalah hukum pernikahan pengidap HIV/AIDS.
Dalam fatwanya, Komisi Fatwa MUI menyatakan apabila HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit yang tak dapat disembuhkan (maradh daim), maka hukumnya makruh. Hal tersebut didasarkan pada Kifayah al-Akhyar lll halam 38: "Keadaan kedua yaitu laki-laki yang mempunyai biaya pernikahan namun ia tak perlu menikah, baik karena ketidak mampuannya untuk melakukan hubungan seksual sebab kamaluannya putus atau impoten maupun karena sakit kronis dan lain sebagainya, laki-laki seperti ini juga makruh menikah."
Hukum pernikahan antara pengidap HIV/AIDS dengan orang yang tak menderita penyakit itu bisa berubah menjadi haram. Syaratnya, jika penyakit tersebut susah disembuhkan (maradh daim), serta diyakini membahayakan orang lain (tayaqqun al idhar).
Komisi Fatwa MUI melandaskan hal itu pada Al-Fiqh Al-Islamy wa Adilatuhu Vll halaman 83 "Apabila laki-laki yang akan kawin yakin bahwa perkawinannya akan menzalimi dan menimbulkan kemudharatan atas perempuan yang akan dikawininya, maka hukumnya perkawinannya itu adalah haram."
Lalu bagaimana dengan pernikahan antar sesama pengidap HIV/AIDS? Komisi Fatwa MUI menyatakan, pernikahan antara perempuan dan laki-laki pengidap HIV/AIDS hukumnya boleh.
Komisi Fatwa MUI dalam fatwanya menyatakan penyakit HIV/AIDS dapat dijadikan alasan untuk emnuntut perceraian apabila salah satu dari suami-istri menderita penyakit tersebut. Lalu bagaimana jika pasangan itu tetap bertekad untuk melanjutkan pernikahannya?
MUI menyatakan, jika pasangan suami-istri atau salah satunya menderita HIV/AIDS, maka keduanya boleh bersepakat untuk meneruskan perkawinan mereka. Dalilnya adalah hadis Nabi SAW: " nOrang-orang Islam terikat dengan perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal."
"Suami atau istri yang menderita HIV/AIDS dalam melakukan hubungan seksual wajib menggunakan alat, obat atau metode yang dapat mencegah penularan HIV/AIDS," papar Ketua Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin dalam fatwa tersebut. selain itu, menurut fatwa tersebut, suami atau istri yang menderita HIV/AIDS diminta untuk tidak memperoleh keturunan.
Lalu bagaimana jika seorang ibu mengidap HIV/AIDS tersebut hamil? Fatwa MUI menyatakan, wanita hamil tersebut tak boleh mengugurkan kandungannya. Hal itu didasarkan pada firman AllahSWT, "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan." (QS Al-Israa:31).
Bahtsul Masail Diniyah Nahdlatul Ulama (NU) juga telah meneapkan fatwanya terkain pernikahan pengidap HIV/AIDS dalam forum Munas NU yang digelar di Lomboh Tengah, Nusa Tenggara Barat pada 1997. Dalam fatwanya ulama NU menyatakan, "Pernikahan pengidap HIV/AIDS dengan sesama pengidap maupun bukan, hukumnya sah namun makruh.
hal itu didasarkan pada Asnal Muthalib juz lll, halam 176, "Dan sah namum makruh pernikahan keduanya (pengidap HIV/AIDS)... " perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan akan tetapi jika dilakukan tidak berdosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah SWT.
Sumber : Dialog Jum'at TABLOID REPUBLIKA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment