Sunday, July 17, 2011

PROBLEMATIKA




119 SMU DI JAKARTA SISWANYA RATA-RATA ADA YANG PERNAH BERHUBUNGAN SEKSUAL

Pergeseran persepsi seks di kalangan kawula muda Jakarta boleh bilang memprihatinkan. Hasil penelitian Dr. Rita Damayanti,MSPH menyebutkan, 5 dari 100 remaja di Jakarta pernah melakukan hubungan seks. Tentu tak ada pihak yang paling bertanggung jawab terhadap prilaku buruk remaja, selain orang tua si anak sendiri. Sejauh mana seks di mata anak Anda dan bagaimana orang tua terlibat dalam kehidupan remaja?

Chintya (bukan nama sebenarnya) gusar. Putrid bungsunya Lana belum juga pulang. Padahal anak gadisnya itu berjanji pulang secepatnya dari pesta ulang tahun teman SMA-nya. Chintya pun mencoba menghubungi ponsel putrinya itu. Namun hanya pesan dari kotak suara yang didapat. Chintya betul-betul khawatir jika Lana tergelincir pada pergaulan seks bebas, seperti cerita dalam sinetron dan film yang pernah ditontonnya.

Kekhawatiran Chintya mungkin pernah dirasakan para ibu yang memiliki putra-putri yang beranjak remaja. Arus mobernisasi dan serbuan informai vulgar yang mudah diakses remaja dikhawatirkan mengikis nilai-nilai moral yang telah ditanamkan orangtua kepada anaknya sejak kecil. Belum lagi kalau tidak selelktif memilih, relasi pertemanan remaja justru jadi menjerumuskan.

PERILAKU SEKS REMAJA

Penggambaran perilaku seks remaja saat ini dibaca dari disertasi Dr. Rita Damayanti, MSPH dari Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. Dalam disertasi berjudul Peran Biopsikososial terhadap Perilaku Berisiko Tertular HIV pada Remaja SLTA di DKI Jakarta, Dr Rita menyebut, 5 dari 10 remaja SLTA di Jakarta pernah melakukan hubungan seks premarital (sebelum menikah).

Penelitian yang dilakukan bersama Badan Narkotika Provinsi ini berhasil menjaring sampel tak kurang dari 119 SLTA dan melibatkan kurang lebih 8.941 siswa sebagai responden. Peneliti yang juga mendata perilaku remaja lainnya, seperti merokok, meminum alcohol, dan mengonsumsi narkoba ini menginformasikan telah terjadi pergeseran norma-norma social dalam kehidupan remaja SLTA saat ini. Ia mencontohkan ada sekitar 13 persen remaja laki-laki yang mengatakan tak masalah melepas keperjakaannya dengan sang pacar.

Sikap permisif (menganggap wajar) remaja terhadap prilaku seks premarital juga ditanggapi sosiolog dari Universitas Indonesia, Dra Erna Karim, MA. Ia menganggap preikau seks menyimpang remaja saat ini akibat pergeseran nila tentang seks. Jika dulu perilaku seks menyimpang dianggap tabu dan terlarang, saat ini justru dianggap sebuah kewajaran. “Hal itu dianggap gaya hidup yang wajar dan merupakan implikasi dari proses modernisasi yang mengglobal,” ujarnya. Ia mengkhawatirkan terjadinya epidemic social di masyarakat jika masalah seks bebas di kalangan remaja tak segera tertangani.

Padahal dari hasil penelitinanya, Dr Rita justru melihat pengetahuan seks remaja masih sangat minim. Buktinya, meski pun mereka mengaku pernah mendapat ceramah atau pendidikan seks dari sekolah atau lingkungan, mitos-mitos yang salah tentang seks masih mereka percayai. Seperti pendapat bahwa perempuan hanya bisa hamil setelah melakukan hubungan seks berkali-kali. Untuk pertanyaan ini lebih dari 40 persen remaja pria dan wanita berpendapat demikian. Padahal kehamilan bisa saja terjadi setelah melakukan hubungan yang pertama.
Meski demikian, tak semua hasil penelitiannya ini memprihatinkan. Terbukti dari jawaban para remaja tersebut untuk pertanyaan : “Apakah virginitas perlu dijaga para remaja sebelum resmi menikah?” hanya sedikit yang beranggapan bahwa seks sebelum menikah tidak melanggar agama. Begitu pula untuk pertanyaan : “Siapa saja berhak melakukan hubungan seks tanpa ikatan, asal suka sama suka, aman dan tidak saling merugikan.” Utnuk pertanyaan ini yang menjawab setuju kurang dari 5 hingga 20 persen.

TAK SALAHKAN REMAJA

Jika kita sering menimpakan persoalan perilaku buruk remaja karena kemajuan teknologi, Dr Rita menepisnya. Pornografi sama halnya dengan merokok dan alcohol, hanya menjadi jalan tol menuju perilaku berisiko tinggi, seperti seks dan narkoba. Tapi factor utama yang mendorong remaja berani melakukan hubungan seks, menurut Dr Rita justru karena pengaruh keluarga.
Jika anak terkondisikan dalam lingkungan keluaga positif, ia yakin sikap permisif pada hal-hal yang buruk, seperti hubungan seks sebelum menikah, tidak akan terjadi. “Sebaliknya jika anak dibesarkan dalam lingkungan keluarga negative, biasanya mereka cenderung terjatuh dalam pergaulan negative juga.

Kecenderungan semakin permisif-nya remaja pada seks juga ditanggapi Psikolog Dra Clara Kriswanto, MA CPBC. Ia mengaku tak terkejut dengan angka 5 persen remaja pernah melakukan seks premarital. “Hal itu betul adanya. Kahidupan remaja ibu kota saat ini memang sangat memprihatinkan. Parahnya, seks tersebut bukan hanya sering dilakukan remaja SLTA, tapi juga SLTP,” ucap konsultan yang sring didatangi klien yang putrinya telibat kehidupan seks bebas.

Clara menganggap wajar jika remaja mulai tertarik dengan hal-hal yang selama ini dianggap tabu. Sebab di usia tersebut, keingintahuan mereka terhadap sesuatu sangat besar. “Pada fase ini, orang tua harus lebih dekat dengan mereka. Jangan sampai mereka memperoleh jawaban tentang seks misalnya, dari luar. Sebab, belum tentu kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan,”ujarnya. Berbahaya lagi, jika orang tua memasang jarak dengan anak saat membicarakan hal sensitive, seperti hububngan seks. “Karena tak nyaman bertanya, mereka memilih menyerap informasi dari luar, “ucapnya.

ORANG TUA BERPERAN

Menurut Clara, lunturnya konsep ataupun tatanan social pada remaja diakibatkan kesalahan orang tua yang tidak menanamkan norma-norma itu sejak kecil. “Harusnya orang tua sudah memberikan pendidikan seks pada anak sedini mungkin. Misalnya memberitahuka bahwa ada bagian-bagian tubuh yang tidak boleh dilihat atau disentuh orang lain. Dengan begitu tertanam dalam benak anak bahwa ia harus menjaga kehormatannya,” ujarnya.

Orang tua juga harus sering berdiskusi dengananak. Harus ditanamkan dalam diri si anak bahwa seks adalah sesuatu yang indah, suci dan luhur jika dilakukan melalui pernikahan. “Selama ini banyak remaja sudah terpengaruh budaya barat sehingga sex just for fun muncul. Hal itu menyebabkan nilai-nilai virginitas maupun keperjakaan sudah tidak sacral lagi,” cetusnya. Disinilah orang tua berperan. “Tumbuhkancitra positif dalam diri si anak sehingga mereka merasa sangat berharga dalam diri si anak sehingga mereka merasa sangat berharga, dicintai dan anugrah dari Tuhan.”

Peran orang tua dalam emmbentuk perilaku remaja juga dikritisi Dra Erna Karim, MA. Jika saat ini remaja menganggap permisif perilaku seks menyimpang, itu karena fungsi sosialisasi keluarga tidak berjalan baik. “Keluarga tidak bisa mensosialisasikan nilai-nilai secara benar kepada anak-anaknya dan tidak mengikuti perubahan di dalam masyarakat. Mereka jutru menyerahkantanggung jawab pada institusi pendidikan atau agama,” jelasnya panjang lebar.
Dosen UI ini juga berpendapat bahwa banyak orang tua yang melalikan tanggung jawabnya sebagai tokoh panutan (significant others) bagi remaja. Padahal sebagi orang tua, mereka dituntut mengetahui peran produktif mereka. Tidak hanya melahirkan, member makan, atau menyekolahkan, mereka juga berperan dalam menanamkan nilai agama, moral, dan kasih saying (afeksi) pada anak-anaknya.

Khusus bagi remaja, orang tua perlu memberikan perhatian ekstra. Jika orang tua kurang peka, mereka akan berupaya mencari identitas diri dengan membentuk kelompok bersama teman sebayanya. “Bahayanya jika kelompok ini beranggapan dirinya amodern jika bisa menirukan gaya hidup sebriti yang permisif pada gaya hidup glamour danseks bebas,” ucapnya. Dalam kain ini Erna menilai Negara belum berperan melindungi remaja dari perilaku buruk.

Pengusaha sebagai pemilik modal, menurut Erna, juga memiliki peran besar dalam membentuk perilaku negative remaja. “Media massa selaku agen sosialisasi justru memunculkan wacana melalui iklan atau sinetron yang isinya kurang mendidik. Belum lagi tempat-tempat penginapan, kafe-kafe, atau klinik aborsi yang mudah ditemui setiap golongan, termasuk remaja,” serunya. Dosen berkerudung ini bahkan mengaggap kondisi tersebut sebagi upaya pembodohan dan pelecehan terhadap generasi muda dan perempuan.

Karena itu berharap orang tua perlu meningkatkan pengetahuan agar dapat mengikuti perkembangan anak. “Setiap waktu sangat berharga untuk mensosialisasikan nilai pada anak. Dengan berdialog tanpa menggurui, pancing kejujuran dan keterbukaan anak untuk menceritakan permasalahan yang dialaminya, “saran Erna. Sosiolog ini meyakini, pondasi agama menjadi benteng utama anak. Begitu pun soal konsep virginitas yang secara social dan cultural hanya ditujukan bagi kepentingan individu, bukan konsep suci seperti digariskan agama.

Sumber : Kartini

No comments:

Post a Comment