Thursday, July 14, 2011
KEKERASAN PSIKOLOGIS KELUARGA
Mengumbar Emosi Melukai Jiwa
Kekerasan psikologis terhadap pasangan sering kita lakukan tanpa sadar. Pasangan jadi hidup tanpa daya. Padahal, yang begini bisa dihindari. Tak jarang, akar kekerasan macam ini ada jauh di masa silam.
Iskandar (bukan nama sebenarnya) duduk gelisah dalam rapat di kantor sore itu. Tiba-tiba ponselnya bordering. Cepat-cepat ia jawab, “Halo, aku sedang rapat… dengan bagian marketing … ya, sebentar lagi.” Rapat berlanjut, tapi Iskandar tampak kurang concent. Setengah jam berlalu, HPnya “menyalak” lagi, “Belum, belum selesai … ada masalah dengan penjualan di Kota Medan …”
Pukul 19.00, rapat menjelang berakhir. Mata pria berusia 38 tahun itu mematuk –matuk arlojinya. Tiba-tiba HPnya menggeram lagi. “Aku masih di kantor… ya, nanti langsung pulang deh…” Setengah jam kemudian, rapat benar-benar ditutup. Ia takut ditebengi Rina yang searah dengan rumahnya.
Para peserta rapat bertukar pandang, saling senyum. Bisa mereka bayangkan, entah berapa ratus kata akan disiramkan istri Iskandar kepada suaminya. Betapa tersiksa hidup Iskandar, tak boleh pulang telat, tak boleh semobil dengan wanita lain, tak boleh membuka rute baru selain rumah –kantor –rumah.
Apa yang terjadi pada Irma (bukan nama sebenarnya) 36 tahun, istri Iskandar? Ia terus-menerus memonitor keberadaan suaminya. Sehari bisa lebih dari 20 kali ia “meneror” sarjana teknik itu. Padahal, Irma sendiri diam-diam, tanpa sepengetahuan suaminya, membelanjakan uang bulanan yang diberikan Iskandar dengan tak semena-mena, terutama untuk membantu sanak keluarganya. Iskandar pun tak berkutik.
Lebih parah lagi, Irma berlaku bak detektif. Ia memeriksa tubuh suaminya sepulang kantor. Bajunya dibaui, adakah aroma parfum wanita selain miliknya. Bahkan, selalu diikuti diam-diam kemana pun sang suami pergi, dan “titip mata” kepada siapa saja Iskandar pergi.
Irma tak sendirian. Diah (bukan nama sebenarnya) 32 tahun, manajer cabang sebuah bank tersohor, tak jarang memamerkan gaji danposisinya di kantor kepada Surya (nama rekaan) 37 tahun, suaminya. Tentulah Surya, yang sejak lima tahun lalu hanya staf promosi sebuah produk mainan anak-anak, terpukul. Walau bagitu ia diam saja. Apalagi di depan ketiga anak mereka, Diah terang-terangan melecehkan dirinya. Belum lagi dalam acara arisan keluarga dua bulan sekali, Diah menggelar monolog tentang perilaku nasabah dan situasi perbankan saat ini.
Kicau Diah mendominasi sepanjang arisan. Surya merasa tersisih, dan tersengat ketika tiba-tiba Diah menegok kearahnya, “Surya sih, enggak berani melakukan movement, jadi enggak pernah naik jabatan.” Surya makin terpuruk. Ia merasa, semua yang hadir memandang sinis kepadanya.
Penganiaya Dan Teraniaya
Dalam balada Irma dan Iskandar, serta Diah dan Surya, sesungguhnya Irma dan Diah telah melakukan kekerasan psikologis terhadap suami mereka. Memang tak ada luka fisik, tetapi luka jiwa di hati para suami membekas lama, malah mungkin selamanya.
“Tak terjadi hubungan yang berkembang jadi pasangan, masih superior-inferior, masihantara yang tertindas dan menindas, sama sekali tidak harmonis, “ komentar psikolog Dra. Ida Poernomo Sigit Sidi atas kisah kedua pasangan itu.
Dari ruang priaktiknya, Ida mencatat sejumlah kasus yang didasari perilaku yang dianggap bisa saja oleh pelaku, tapi ternyata membuat luka batin menyakitkan pada pasangannya. Kasus Iskandar dan Surya hanyalah sebagian kecil dari derita suami atas ulah istri yang melampaui batas “job desk” nya.
Sebaliknya, derita yang sama banyak pula dirasakan oleh kaum istri. Masih banyak para suami yang memasung kreativitas sang istri, padahal wanita itu memiliki potensi untuk melakukan sesuatu diluar rumah tangganya, bekerja di kantor, misalnya. Alas an klasik yang dijadikan senjata, “Siapa nanti yang mengurus rumah?”
Jika istri sempat mengenyam pendidikan tinggi, keharusan tinggal di rumah saja sudah amat menyiksa. Contohnya, yang dialami Ira, (bukan nama sebenarnya) 27 tahun. Keinginan bekerja sajrana bahasa salah satu perguruan negeri swasta ini ditolah mentah-mentah oleh suaminya, Anto (bukan nama sebenarnya) 31 tahun, karyawan salah satu bank swasta papn tengah. Sebenarnya, Ira berniat emmbantu Anto menopang keuangan keluarga, jika isu PHK besar-besaran jadi mengguncang kantornya terbukti.
Berkali-kali ia mengutarakan niat bekerja. Namun, baru kalimat pertama sudah dipatahkan Anto. Pria kelahiran Purwokerto itu mengumpat, “Jatuh harga diriku, nanti dikira aku tak mampu menafkahi keluarga.”
Ira hanya bisa menangis, ketika Anto mengekangnya lebih keras. Mengira istrinya dihasut orang lain, maka seluruh akses ditutup. Ia tak boleh berhubungan dengan siapapun, termasuk keluarga, tanpa seizinnya.
Penganiayaan secara halus tapi menusuk jiwa, dilakukan juga oleh suami yang malu membawa istrinya ke tengah public. Atau, cara suami memperkenalkan istri ke temannya sedemikian rupa hingga terkesan melecehkan istri sendiri.
Lalu, bagaimana mengatasinya? “Lebih baik masing-masing memosisikan diri pada perannya. (dalam kasus Diah dan Surya) sekecil apa pun gaji suami, itu adalah nafkan utama,” tandasnya. Walau gaji istri berlipat kali, statusnya tetap nafkah pendamping. Jadi, pundi keluarga adalah gabungan dari keduannya. Sementara penggunaannya sebaiknya atas dasar kesepakatan bersama.
Memang, diakui, Diah mampu memanfaatkan emansipasi yang diberikan Surya, hingga dikantor ia berhasil jadi pemimpin. Namun, di rumah ia harus kembali kepada struktur di rumah. “Kebanyakan istri lupa ia bekerja untuk apa, lalu menganggap remeh suami. Padahal, kedudukan kepala keluarga bukan ditentukan oleh besarnya gaji atau tingginya kedudukan, “ kritik psikolog berputra dua ini.
Sementara, pada kisah Ira dan Anto, seharusnya Anto, yang seorang sarjana, mampu berpikir secara luas ke depan, sebagaimana pasangan hidup laiknya. “Tentunya ia menyadari, dengan siapa ia menikah. (Ira adalah contoh) seorang dewasa yang sadar posisisebagi istri, tahu tanggung jawab dunia akherat. Jadi, tak usah dikendalikan begitu ketat, “ tegas Ida. Yang disayangkan, potensi besar Ira layu sebelum berkembang, lantaran suaminya tergolong konserfatif. Sebaiknya, niat Ira dibicarakan dulu, lalu diujicoba.
“Kebanyakan wanita merasa ini sudah kodrat. Padahal kodrat wanita adalah mengandung, melahirkan, menyusui. Tak hak istri juga harus diperhatikan dong,” kata Ida dalam nada tinggi. Apalagi belakangan ini marak fenomena yang seolah disahkan masyarakat luas, padahal amat menyakitkan kaum wanita, yakni poligami. Sang istri pun merasa itu bukan siksaan, karena sudah nasib, ya diterima saja. “Secara mental itu tidak sehat. Stelah usianya menjelang senja, barulah ia sadar, ‘hidup saya ini apa dan untuk siapa’ tapi semua sudah terlambat,” sendu bicara Ida.
Akar Masa Lalu
Menurut Ida Poernomo Sigit Sidi, ada hubungan antara kekerasan psikologis dan masa lalu pelaku. Jika dulu bapaknya suka memukuli ibunya maka begitulah juga ia mengajar istrinya. Peristiwa masa lalu itu mengendap kea lam bawah sadar. Karena tak bisa ditahan terus-menerus, maka begitu ada kesempatan, meledaklah keluar. Yang bersangkutan sendiri kaget, kok sampai melakukan hal itu. Untuk mengetahui penyebabnya, si pelaku diajak melakukan perjalanan ke masa lalu, masuk alam unconscious (bawah sadar) nya.
Begitu ketemu penyebabnya, biasanya kaget, karena selam ini ia tak menyadari memiliki hal itu, maka ia pun kesal pada diri sendiri. Itulah akibat jika ada sesuatu yang ia tahu tidak baik, langsung ditekan. Begitu seterusnya. Jika ini tidak diselesaikan, akan muncul kapan pun.
Kalau toh ia sudah menyadari hal itu, tapi tetap melakukannya lagi, maka ia perlu psikolog. Sebab, ia tidak mampu mengendalikan diri sendiri, tidak mampu menata emosinya. Harus dengan bantuan psikoterapi. Untuk menyembuhkannya, ada sejumlah langkah yang harus ia lakukan. Jika istri atau suami bisa mengerti dan bisa diajak kerja sama, maka akan segera dilibatkan.
Ida menunjuk kasus Adi (nama samaran, 27), seorang menejer bidang TI, yang tergolong orang yang susah mengerti atau dimengerti, susah bergaul, sinis terhadap orang lain, sering menyakiti hati lingkungan kantor dan rumah.
Oleh Ida, ia dituntun melakukan perjalanan psikologis cukup panjang membongkar masa lalunya. Akhirnya ketemu, ia pernah dihukum ayahnya pada umur 9 tahun. Kebetulan ayanya masih ada, sehingga Ida menganjurkan agar diselesaikan “Katakan apa perasaanmu, ucapkan terima kasih telah dididik seperti itu hingga sekarang bisa jadi orang,” begitu Ida meminta kepada Adi.
Untunglah, sang ayah masih sempat ditemui, sempat menjelaskan apa maksud dan tujuan hukuman itu. Kalau tidak, si anak akan terus membawa interpretasinya sendiri seumur hidupnya. Ayah dan anak berjalan bersama, tapi ada rongga psikologis yang amat besar diantara mereka.
Begitulah, kekerasan apa pun bentuknya, fisik dan non fisik, adalah produk dari kekerasan juga di masa lalu. Berdialog, membuka komunikasi, menata emodsi saling berempati, saling terbuka saling berbagi rasa adalah kunci pembuka simpul persoalan psikologis diantara suami-istri.
Bukan hanya terhadap pasangan, pelakuan manusiawi dan bermartabat juga diutamakan terhadap anak-anak. Hati-hati, anak-anak bisa membawa luka jiwa sepanjang hidupnya.
HATI-HATI MENJULUKI !
Kekerasan nonfisik juga sering dialami anak-anak. Misalnya, memberi julukan pada anak harus hati-hati, sebab akan member stempel pada dirinya. Julukan si Bolot atau si Doraemon membuat anak akan mengidentifikasikan dirinya dengan karakter itu. Kelambanan bereaksi seperti si Bolot akan menyugesti anak, akhirnya meresap ke dalam konsep dirinya, dan terbawa hingga dewasa.
Ida wanti-wanti, dalam menghukum anak pun perlu disadari, imbangkah hukuman itu dengan kesalahan yang dibuat oleh si anak. Juga, bisakah hukuman itu menjadi “pegangan” buat anak untuk mengerem perbuatan semacam itu lagi. “Hukuman yang tak mendidik, jika anak menjadi pelampiasan marah terhadap suami atau istri atau bahkan atasan,” tegas Ida.
Ida mendapati, trauma psikologis akibat hukuman ini berlangsung hingga si anak berusia 30-40 tahun, bisa membuat mereka rendah diri atau balas dendam. Setelah menjadi orangtua, balas dendam itubisa positif bisa pula negative. Yang positif, misalnya ia tak kan memukul anak karena tak ingin mengulangi kesalah orangtuang. Yang negative, ia bisa jadi overprotective pada anaknya, sehingga si anak tak bisa apa-apa.
Memang, terkadang orangtua ingin menenmkan disiplin tapi tak menyadari bahwa tindakannya itu amat menekan anak. Saat baru saja menonton acara televise kesayangannya, misalnya, ia dipaksa belajar. Ini penyiksaa. “Kenapa tidak kompromi saja, kasih waktu anak menonton setengah jam, sudah itu baru belajar,” saran Ida.
Dalam kasus lain, Ida mendapati orang tua memaksa mengambil jurusan pilihannya, “Mengapa si anak tidak diajak bicara, mempertimbangkan jurusan yang dipilihnya sendiri. Jika ia memilih arsitektur, ajan ia mengobrol dulu dengan omnya yang arsitek. Minta ia ukur kemampuannya sendiri, apakah sanggup mengikuti perkuliahan kelak.”
Berunding semacam ini, menurut Ida akan menempatkan anak sebagaiorang yang punya hak atas masa depannya sendiri. Serta membimbing dan mengarahkan karena wawasannya belum luas.
Orang tua zaman dulu, dalam pandangan Ida, mengamati si anak dari jauh, lalu agak otoriter dalam menentukan jurusan si anak demi kebaikan anak itu sendiri. Berbeda dengan orang tua zamansekarang yang terlalu membiarkan, terlalumenuruti, padahal si anak belum waktunya diperlakukan seperti itu. “Akhirnya, si anak tak jadi apa-apa,” sesal Ida.
Sumber: Intisari
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment