Monday, April 4, 2011
PROBLEMATIKA
400 RIBU ANAK DIJADIKAN PSK KEBANYAKAN KORBAN TRAFFICKING DAN ‘DIJUAL’ ORANG TUANYA
Jumlah gadis desa dibawah umur yang dijual sebagai pekerja seks komersial kian banyak. Semester pertama tahun ini menurut data Komnas Perlindungan Anak, jumlahnya sudah lebih dari 400.000 orang. Penyebabnya macam-macam, mulai dari factor ekonomi, salah pergaulan hingga keinginan menikmati kesenangan duniawi secara instan.
Pada suatu hari, Kepolisian Sektor Metro Taman Sari, Jakarta Barat, mengamankan 115 perempuan yang dipaksa menjual diri di dua lokasi tempat hiburan malam di Jakarta Barat. Dari jumlah itu, Sembilan diantaranya perempuan dibawah umur.
Memang bukan hal baru adanya eksploitasi seks komersial anak (ESKA). Berita diatas bukan sekedar membuktikan, tapi juga gambaran sebenarnya. Bahwa dibalik itu ada angka yang lebih besar lagi. Data dari Komnas anak yang dikatakan ketua umumnya, Seto Mulyadi, semester pertama tahun ini jumlahnya sudah lebih dari 400.000 anak. Sepanjang tahun 2006 jumlahnya 42.771 dan tahun berikutnya menjadi 745.817 anak. Sebagian besar korban berasal dari keluarga miskin di kawasan pesisir, seperti Indramayu dan Subang. Mereka melacurkan diri, dilacurkan orang lain seperti orang tuanya maupun akibat perdagangan manusia (trafficking).
Materi dan kesulitan ekonomi menjadi alas an utama para PSK anak yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan dan kota-kota besar lainnya. Namun ada pula yang tak dilatarbelakangi kesulitan ekonomu, tetap saja terjerumus di dunia kelam itu. Sebut saja WA (16), dara cantik berhidung mancung ini sejak satu tahun lalu biasa nongkrong di salah satu mal didaerah Jakarta Selatan.
Siswi kelas 1 SMA ini mengaku, awalnya tergiur dengan gaya hidup teman-temannya yang sering gonta-ganti ponsel, berpakaian bagus, dan punya banyak uang. Usut punya usut ternyata teman-temannya itu bias bergaya hidup tinggi lantaran mendapatkan uang dari hasil mendekati dan ‘jalan’sama om-om. “Lama-lama saya tergoda juga untuk mengikuti jejak mereka. Bermula dari sekadar ngobrol dan pegang-pegang yang bayarannya Cuma Rp50-Rp100 ribu. Akhirnya saya kebablasan, mau diajak check in. waktu merawanin saya dibayar Rp 3 juta, setelah itu bayarannya Cuma 300 sampai 500 ribuanlah,”ungkapnya.
Padahal WA sendiri mengaku berasal dari keluarga menengah yang relative tak masalah soal materi. “ Tapi minta sama orang tua ‘kan nggak selalu dikasih. Makanya lebih baik cari sendiri meski caranya seperti ini. Orang tua saya sampai sekarang belum tahu dan jangan sampai tahu,” ujarnya enteng. Agar orangtua nya tak curiga, WA selalu berperilaku sopan dalam kesehariannya di lingkungan keluarga. Ia dikenal pula sebagai anak yang patuh dan berprestasi di sekolah.
WA mengakui merasa sangat bersalah ketika pertama kali melakukan perbuatan tersebut. Namun perasaan bersalah itu segera ditepisnya lantaran ia merasa apa yang didapatnya setimpal dengan pengorbanannya. “Saya mendapat kenikmatan sekaligus uang banyak. Agar nggak hamil saya minum pil dan lawam main pun pake pengaman,” ceritanya ceplas-ceplos.
KONDISI EKONOMI DAN SALAH PERGAULAN
Berbeda halnya dengan KS (15), salah satu PSK anak yang praktek di warung remang-remang pinggir jalan raya parung, Bogor. Ia mengaku sejak awal telah dijual oleh orang tuanya sebagai pelacur lantaran kesulitan ekonomi. “waktu dibawa saya nangis nggak berdaya, tapi mau bagaimana lagi? Keluarga terjepit kebutuhan ekonomi. Ini ‘kan jalan paling cepat mendatangkan uang. Waktu itu ayah saya dikasih uang sama calonnya Rp500 ribu,”cerita perempuan asal Sukabumi ini.
Selepas isya hingga pukul 02.00 WIB, KS harus mencari ‘tamu’ sekitar Rp 2.500. Belum termasuk tip dari tamu sekitar Rp 50 ribu. “Jika tamunya royal saya bias dapat tip Rp 100 ribu. Nah, kalau dia ngajak check in saya dapat uang lagi sekitar Rp 300 ribuan. Jadi bisa dikira-kiralah penghasilan saya, “ungkap KS yang setiap bulannya harus mengirim uang ke orang tuanya Rp 1 juta.
Sebenarnya ia ingin keluar dari dunia kelamnya itu. Pernah suatu ketika KS menyampaikan niatnya itu kepada orang tua yang bekerja sebagi petani penggarap. Namun bukannya dukungan yang didapatnya, orang tuanya malah marah-marah lantaran KS merupakan satu-satunya sandaran hidup keluarga. “Kalau kamu nggak bekerja seperti itu bagaimana nasib kakak dan tiga adikmu yang masih sekolah. Bapak dan emak juga dapat uang dari mana?” ceritanya sedih ketika menirukan kalimat orang tuanya itu.
Lain lagi cerita KF (16), salah satu PSK. Siswi kelas 3 SMP ini mengenal tubang (singkatan tua Bangka – red) dan dunia seks sejak kelas 2 SMP. Pertama kali KF dikenalkan dengan dunia pelacuran oleh RN, teman satu sekolahnya yang sudah lebih dulu melacur. KF mengaku terdesak oleh kebutuhan membayar uang sekolah dan ujian. Uang untuk keperluan itu sebenarnya sudah diberikan orang tuanya, namun digunakan untuk keperluan pribadinya. Akibatnya ia menunggak uang sekolah hingga tiga bulan.
Pada hari pertama sebelum kencan, KF dan RN bertemu dengan AL untuk tahap perkenalan di sebuah pusat perbelanjaan di Medan. AL yang senang mendapatkan perawan kencur sebagai teman kencannya, mengimingi uang Rp 4,5 juta. Uang sebesar itu kata KF sudah termasuk tip untuk RN sebesar Rp 500 ribu. Sepulang dari perkenalan, AL memberi uang RP 100 ribu pada KF dan Rp 50 ribu pada RN.
Esok harinya AL menjemput KF dari sekolah untuk kencan pada pukul 16.00 WIB. Gadis kecil itu dibawa ke sebuah hotel di Jalan Hayam Wuruk Medan. Di Hotel inilah keperawanannya dilepaskan dengan bayaran Rp 4 juta. Uang tersebut belakangan habis hanya dalam waktu tiga hari. “Untuk jajan, traktir teman-teman, membeli pakaian dan keperluan sekolah. Aku juga nyisihin bagian untuk RN Rp 200 ribu,” sambung siswi yang meraih peringkat sepuluh besar di sekolahnya.
KF mengaku senang dengan penghasilah yang didapatkan nya sekarang. “Aku dapat uang tambahan, bisa foya-foya, bisa traktir kawan, beli barang-barang bagus dan tentunya senang bisa menyalurkan hasrat seks itu, “ tuturnya tanpa merasa bersalah. Hingga detik ini ayahnya yang berprofesi sebagai supir pribadi dan ibunya, tidak mengetahui pekerjaan ‘sampingan’yang dilakukan putrinya. KF sendiri merasa puas bisa mengatur waktunya untuk sekolah dan ‘kerja’. “ Kan semua itu dilakukan siang hari. Aku selalu pulang sebelum pukul 18.00, jadi orang rumah tidak ada yang curiga, “ ujar anak kedua dari tiga bersaudara perempuan ini.
Mata KF menerawang jauh tentang masa depannya. “Aku nggak tau Kak, mau sampai kapan seperti ini. Semuanya sudah terjadi dan aku menikmatinya, meskipun ingin sekali punya masa depan cerah seperti yang lain, “ ujarnya lirih.
ANAK YANG DILACURKAN DI MEDAN TERTINGGI
Miris memang mendengar pengalaman hidup mereka yang membuat mata kita terbelalak tak percaya. Tapi itulah kenyataannya. Lantas apa yang dapat diperbuat untuk menekan angka ESKA? Sudah kuatkah system hokum yang melindungi posisi anak? Siapa pula yang paling bertanggung jawab atas masalah ini?
Menanggapi masalah tersebut Ahmad Sofian, Koordinator Nasional Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersian Anak (ECPAT Indonesia) mengatakan, lembaganya telah melakukan penelitian di enam kota besar yaitu, Indramayu, Semarang , Solo, Surabaya, Medan dan Manado. Kota-kota ini dipilih berdasarkan maraknya pemberitaan seputar anak-anak korban pelacuran di berbagai media masa.
Meski begitu tim ini tidak memungkiri besarnya jumlah pelacuran anak di kota besar seperti Jakarta, Batam dan Bandung. “Kalau di kota besar seperti Jakarta, pelacuran anak sudah banyak diekspos media dan bukan rahasia lagi, jumlahnya sangat besar. Kami lebih memutuskan kepada kota yang jarang terekspos untuk membuktikan bahwa keberadaannya tak kalah besar, “paparnya lagi.
Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan, Medan menempati urutan tertinggi, sebanyak 76 responden PSK anak Indramayu, Surabaya dan Manado menempati urutan kedua dengan angka 50. sedangkan di Semarang ada 46 dan Solo 27.
Sofian mengakui, tidak ada data yang valid untuk menentukan berapajumlah anak Indonesia yang menjadi korban perdagangan untuk tujuan seksual, walaupun berbagai versinya masing-masing. Data Komnal Perlindungan Anak, ada 400 ribu anak hingga pertengahan semester tahun ini, UNICEF memprkirakan 100.000 anak diperdagangkan setiap tahunnya. Sebagian besari untuk tujuaneksploitasi seksual.
Sindikat pelacuran anak di Medan sebenarnya tidak berbeda dengan kota-kota besar yang lain. “Mereka menjadi pelacuran sekaligus penghubung, tidak ada germo. Yang mengajak terjun ke dunia itu juga anak yang sudah terlebih dahulu mencicipi pekerjaan itu, “terang pria yang juga Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA ) Medan ini.
Medan merupakan kota besar dengan pertumbuhan ekonomi cukup pesat. Namun pertumbuhan itu tak mencakup daerah pinggiran kota. Inilah yang menyebabkan sebagian besar remaja putrinya terperosok dalam ESKA dan mereka banyak berkeliaran di tempat-tempat wisata dan kota-kota pelabuhan. “Pokoknya tempat dimana pertama kali para pendatang mendarat di pulau Sumatera,” tegas Sofian. Gemerlapnya pertumbuhan ekonomi dipusat kota disinyalirnya telah menyilaukan masyarakat pinggiran yang masih berada di level ekonomi menengah ke bawah.
Tak heran bila faktor materi menjadi alasan utama anak-anak terjerumus, selain disebabkan pengaruh teman dan gaya pacaran yang kelewat batas. Mereka berumur antara 13 hingga 18 tahun. Kebanyakan berasal dari keluarga dari strata ekonomi rendah hingga menengah.
Biasanya para PSK anak ini beroperasi di siang hari. Pagi hari berangkat seperti biasa, siang harinya mereka cabut dari sekolah. Pergi dengan tubing ke hotel-hotel tertentu yang berbentuk seperti cottage, dengan garasi mobil yang langsung terhubungkan dengan kamar. Sehingga keberadaan anak bisa disembunyikan dalam mobil sebelum masuk kamar hotel. Untuk setiap pelayanan seks, mereka dibayar Rp300-Rp500 ribu. Yang masih perawan biasanya mendapat bayaran lebih tinggi. Dalam sehari mereka bisa melayani lebih dari satu orang tamu. Risiko hamil diatasi dengan minum jamu dan pil, atau dengan suntik dan kondom.
Rasa takut tak jarang dialami anak-anak yang baru pertama kali terjun. Karena pengalaman pertama kadang teman yang mengajak menemaninya. Teman ini akan menunggu di depan kamar hotel atau lobi hingga kencan selesai. Ini dilakukan tak lebih karena tip dari tubing yang senang mendapat perawan, maupun karena penghasilan temannya yang baru pertama kali ‘bekerja’ lumayan besar. Posisi pelacur sekaligus penyalur ini menjadi rezeki tersendiri. Tak heran bila jaringan PSK anak berkembang pesat.
SISTEM HUKUM MASIH LEMAH
Indonesia dinila Sofian sangant lemah sisitem hukumnya. Ini bisa dilihat dari tidak adanya unsur-unsur dalam perundangan yang menghukum tindakan pelacuran anak. Disatu sisi, lanjut Sofian, hukum internasiomnal sebenarnya telah mengatur hal ini, hukum yang dimaksud termaktub dalam Konvensi Hak Anak (KHA) sejak tahun 1990.
Namun paying hukum perlindungan anak di Indonesia baru direalisasikan melalui lahirnya Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU ini dinyatakan, pelaku ESKA diancam 15 tahun penjara atau didenda paling banyak Rp 100 juta.
Sebagai turunan UU tersebut, pada tahun yang sama keluar Keputusan Presiden yang erat kaitannya dengan ESKA yaitu, Keppres No. 87/2002 tentang RAN Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak. Keppres ini pun diikuti dengan lahirnya perda-perda di sejumlah provinsi dan kabupaten/ kota di seluruh Indonesia, seperti di Sumatera Utara, sudah lahir Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Trafiking.
Namun Sofian menjelaskan bahwa paying hukum itu tidaklah lengkap. “Kejahatan ini pun dianggap illegal. Tidak ada penjelasan definisi eksploitasi seksual anak dan unsure-unsurnya, seperti pelacuran ataupun perdagangan, sehingga hukum terkesan kabur dan pelakunya tidak bisa dipidanakan.” Ungkap master kriminologi anak dari perguruan tinggi di Malaysia ini.
Yang ada lanjut Sofian, adalah peraturan tentang pencabulan anak seperti yang tertera dalam KUHP. “Namun itu pun hanya untuk anak-anak 12 tahun melakukan hubungan badan atas dasar suka sama suka, hal ini tidak bisa dituntut secara adalah yang ada di bawah 18 tahun.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Magdalena Sitorus, Ketua II Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPA) mengatakan, ESKA erat kaitannya dengan perdagangan anak (trafficking). Eksploitasi berarti pemanfaatan kerentanan anak yang bentuknya ketergantungan yang amat tingi terhadap orang dewasa dalam hal ini orang tua. Ketergantungannya pun beragam, misalnya ketergantungan psikologis, sosiologis, dan ekonomi. Kerentanan anak inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang yang mau mengambil keuntungan.
Hal yang paling mengkhawatirkan dari eksploitasi seksual adalah trauma, yang membuat anak akhirnya menerima bukan menikmati keadaannya dieksploitasi sebagai jalan hidupnya. Hal tersebut dibenarkan oleh Ana Sulikah, Ketua Yayasan Bandung Wangi yang concern menangani masalah ESKA. Ia mengungkapkan, seringkali terjadi saat anak ingin lepad dari ‘pekerjaannya’ itu, harus berhadapan dengan orang tuanya sendiri yang sudah sangat bergantung secara ekonomi dari hasil eksploitasi tersebut.
Inilah yang menyebabkan masalah ESKA sulit diberantas, karena kebanyakan pelaku utama eksploitasi anak adalah orang tuanya sendiri. Alasan mendasar yang sering diungkapkan adalah faktor ekonomi. “Keadaan itu didukung oleh faktor budaya yang menganggap anak adalah “hak milik” orang tua, dan anak harus berbakti kepada orang tua karena sudah melahirkan dan membesarkan,” jelasnya.
Faktor ekonomi dan budaya diperkuat oleh anggapan dan sikap diskriminatif bahwa perempuan memiliki “nilai jual” sehingga dapat menunjang perekonomian keluarga. Faktor kuat lainnya adalah ketidaktahuan orang tua bahwa anak juga memiliki hak. “Seringkali karena merasa sebagai orang tua merasa tahu apa yang terbaik bagi anak, tidak mengerti bahwa anak mempunyai hak untuk menolah, dan tidak memahami bahwa keputusannya bukan yang terbaik bagi anak.”
Semua nara sumber sependapat masalah ESKA merupakan tanggung jawab bersama. Mulai dari keluarga sebagi unit terkecil dalam masyarakat, baik perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi social atau organisasi kemasyarakatan, sampai pemerintah dan Negara. “Jika sudah dikeluarkan kebijakan, kita harus bertanggung jawab melihat sejauh mana implementasi dari kebijakan tersebut. Sebagai anggota masyarakat kita juga harus punya keberanian menjadi pengawas dijalankan atau tidaknya kebijakan pemerintah tersebut, “tandas mereka.
Sumber: kartini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment