Tuesday, March 1, 2011

DAMPAK SEKOLAH FULL DAY




DAMPAK SEKOLAH SISITEM FULL DAY TERHADAP SIKAP MENTAL ANAK

Dalam suatu seminar dengan para guru di Denpasar, Bali, Psikiater Prof Dr dr LK Suryani, SpKJ mengatakan, bahwa sisitem belajar-mengajar seharian yagn popular dengan sebutan full day school, dapat mempengaruhi sikap mental sisiwa. Bukannya positif, justru mentalnya dapat berkembang menjadi generasi dan beringas. Asumsi yang berani, namun benarkan bisa sebegitu menakutkan?

Saat ini sekolah dengan sisitem full day atau seharian di sekolah banyak diminati orang tua. Maklum orang tua zaman sekarang sibuk, dan tuntutan pada anak di masa mendatang pun cukup berat. Mau tak mau daripada lebih banyak di rumah, anak pun harus dimasukkan di sekolah yang memiliki sisitem belajar seharian atau full day school (FDS).

Di FDS, sejak pukul 7 pagi anak sudah harus berada di sekolah, dan baru pulang pukul 4 atau 5 sore. Proses dan fasilitas belajar, dari yang formal hingga informal atau ekstra kurikuler tersedia. Di sekolah mereka ditempa agar potensinya tergali, berkembang dan berprestasi.

Namun menurut Prof Dr dr LK Suryani, guru besar di Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, kurikulum di negeri ini sebenarnya sudah cukup berat. Sudah berat, tak sedikit sekolah yang karena ingin disebut berprestasi, ditetapkan berbagai tes tambahan. Anak pun dipaksa belajar giat melebihi takaran yang dimiliki. Suryani mengibaratkan satu cangkir diisi satu ember air, tetap saja kapasitasnya secangkir, kelebihan air akan tumpah sia-sia. Artinya, kemampuan menerimanya tetap saja disesuaikan dengna kemampuan anak. “Karena itu saya tidak setuju dengan les tambahan. Boleh les asal yang diberikan adalah jenis tarian, melukis, drama, atau pelajaran yang menyenangkan seperti vocal group dan lainnya.”

Berbagai les tambahan ini menurut Suryani banyak diadopsi FDS. Karena itu menurutnya, seharian di sekolah untuk belajar dan belajar secara psikologis membunuh kesegaran berpikir sisiwa. “Lama belajar anak tidak boleh lebih dari 5 jam sehari. Selebihnya otak anak harus diistirahatkan dengan olah raga, kesenian atau kegiatan lain. Sekarang, karena keinginan pengelola sekolah menjadi sekolahnya favorit, anak dipaksakan belajar melampaui batas kemampuan berpikirnya. Bisa menyebabkan kejenuhan bahkan kelelahan,” jelas psikiater yang tak setuju sekolah system full day.

Generasi yang dituntut hanya belajar dan belajar ini menurut Suryani, mentalnya tak berkembang baik. Karena disekolah seharian, mereka minim berinteraksi dan bersosialisasi dengan keluarga dan lingkungannya. Karena dipaksa belajar agar memenuhi target orang tua dan sekolah untuk berprestasi, memunculkan kemarahan terpendam anak bahkan sikap aptis. “Tanpa kita sadari bisa lahir generasi beringas yang tidak peduli pada kepentingan umum, lingkungan, apalagi persoalan bangsa,”katanya si Seminar Guru ‘Memahami Perkembangan Mental Anak Didik’ di Denpasar beberapa waktu yang lalu.

Pernyataan Suryani memang controversial. Pertanyaannya, apakah sebegitu manakutkan akibat dari proses belajar ala FDS?

Dra Sukenrini, Kepala Sekolah SMP Cakra Buana yang dikenal menerapkan sistem Full day, menolah asumsi Suryani, terutama di sekolahnya. Menurutnya, memanfaatkan waktu belajar yang cukup panjang tersebut tak melulu untuk mengejar prestasi akademik. “Ada banyak hal yang dipelajari siswa. Tak hanya menekankan sisi akademis, tapi juga menyeimbangkannya dengan memasukkan unsure lain seperti social, emosional, fisik, hingga spiritual di harapkan tetap dapat berjalan seimbang,” tandas kepala sekolah SMP yang terletak di Depok itu.

Begitu pula yang dikatakan Drs Gatot Sulanjono, Kasek SD Al Hikmah, Surabaya. Pola belajar full day yang diterapkan disekolahnya kata Gatot, tidak terbatas pada pelajaran belaka, tetapi juga pada pendidikan. Sehingga meskipun jadwal belajarnya lebih panjang, anak didik tidak bosan. Karena di sekolah anak didik juga diberi waktu untuk berinteraksi dengan sesamanya, memimpin, disiplin, bermain dan tenty saja berperilaku terpuji.

Tapi bagaimana dengan pola di sekolah-sekolah full day lainnya? Bisa saja ada yang semata berorientasi prestasi akademik saja. Orang tualah yang seharusnya cermat memilihkan sekolah bagi buah hatinya.

ASALKAN DIPERSIAPKAN SEJAK DINI

Konsep full day school awalnya berkembang di Negara-negara maju seperti di Jerman, Eropa dan Amerika. Latar belakan berdirinya, karena sekolah di sana lebih banyak liburnya dibandingkan masuknya. Pada musim panas dan musim dingin misalnya, liburnya bisa sampai dua bulan. Karena itulah para sisiwa di Negara-negara tersebut disarankan mendapatkan pelajaran tambahan. Akhirnya umumnya sekolah di sana menerapkan system full day school.

Kondisi itu jelas berbeda dengan di Indonesia yang tak mengenal libur musim dingin atau panas. Meski demikian, karena system tersebut dianggap memiliki banyak kelebihan dan nilai positif, dunia pendidikan kita pun mengadopsinya. Anak-anak diberi ruang dan waktu yang lebih panjang untuk belajar, para orang tua yang sibuk juga terbantu karena bisa menitipkan anaknya di sekolah. Tapi memang diakui juga oleh para pakar, kelemahannya juga banyak. Misalnya, ketika anak merasa jenuh, apalagi jika bermasalah dengan guru, mereka akan stress. Selain itu, jika mengalami kelelahan, yang akan menyulitkannya dalam mengembangkan diri.

Dr Yuniarti, MPsi, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta berpendapat justru sekolah FDS bisa memberi perlindungan lingkungan bagi anak. “Sekarang orang tua yang bekerja semakin meningkat. Di sisi lain anak-anak membutuhkan perhatian dan bimbingan, anmun FDS ‘kan bisa memnuhi kebutuhan tersebut, “jelasnya.

Namun untuk menentukan sekolah anak, apa pun jenis dan metode belajar sekolahnya. Menurut yufi harus melibatkan anak. Anak-anak diberikan pengertian mengenai alasan pemilihan sekolah. Sebaiknya sejak dini dia sudah harus dipersiapkan ketika hendak dimasukkan ke dalam full day school. Ini penting dilakukan agar dia tidak kaget dan bisa beradaptasi dengan cepat. “Guru pun harus pandai menciptakan suasana belajar yang nyaman, karena anak akan berada disekolah seharian,”ucapnya.

Kalau anak tidak dipersiakan sejak dini menurut Yufi, ia bisa tidak betah dan berat menjalankan aktivitas seharian di sekolah. “Kalau dipasa bisa stress. Makanya perlu persiapan mental dengan cara mengenalkan system tersebut sejak dini, sehingga anak tak kaget dan merasa nyaman,”jelas Yufi.

PERLU SCHOOL SHOPPING

Hal senada juga dikatakan psikolog seior Rose Mini, MPsi. Menurutnya, kalau sisiwa bersda di sekolah seharian penuh nemun hanya mendapat teori pelajaran saja, mungkin bisa berdampak buruk. Sebab, pada masa anak belajar seharusnya dikemas dengan cara bermain. Apalagi bila sekolah menerapkan sisitem full day. Aspek bermain dan berkegiatan dengan cara menyenangkan harus diperhatikan benar.

Di FDS menerapkan begitu. Jangan selalu mengasumsi bahwa sekolah FDS hanya belajar seharian. Umumnya justru menyajikan kegiatan yang mengasah kreatifitas, kerja sama tim dan lain-lain,” jelas psikolog yang disapa Romi ini.

Namun diakuinya tak semua anak bisa cocok dengan system FDS. Karena itu betapa pentingnya sebelum memutuskan di mana anak akan sekolah nanti, orang tua melakukan school shopping. Kenalkan pada anak sekolah yang akan mereka tempati. “Kebanyakan orang tua hanya memikirkan apa yang baik menurut mereka, tapi belum tentu cocok untuk putra-puterinya. Di sekolah para guru memang memberikan perhatian yang besar pada para siswa, namun tetap tidak dapat disamakan dengan perhatian orang tua," tandasnya.

Dengarkan keinginan mereka, saran Romi. Sebab jika sudah terlanjur dimasukkan FDS meski ia terpaksa, akibatnya anak mungkin saja dapat berperilaku sedikit nakal. “Perilaku buruk itu dimaksudkan untuk mendapatkan perhatian orang tua. Misalnya ingin orang tua datang ke sekolah dan mencoba mengatakan kalau mareka tidak ingin berada di sekolah itu.” Untuk anak yang tergolong aktif, mudah berinteraksi dan cukup mandiri, kata Romi, FDS bisa jadi pilihan tepat.

Menurut Romi, jika anak merasa terpaksa dan tidak bahagia belajar di sekolah akan berakibat pada menurunnya motivasi belajar juga mentalnya. “ Jika hal ini terjadi bagaimana akan akan berprestasi sesuai harapan orang tua?”

Selain itu, setelah anak disekolah di FDS bukan berarti menyerahkan ke sekolah begitu saja. Orang tua harus tetap mendidik dan memantau perkembangan mereka. Apa yang diterapkan di sekolah harus dilanjutkan di rumah. Intinya, orang tua jangan melepaskan tanggung jawab.” Harus ada kerja sama antara pihak sekolah dan orang tua agar kebutuhan anak-anak terpenuhi dan bahagia,” tandasnya.

Namun menurut Romu, anak yang sekolah di FDS belum tentu menjadi lebih mandiri daripada yang sekolah half day. “Penelitian mahasiswa saya untuk anak-anak kelompok bermain, tingkat kemandirian anak di kelompok bermain full day dengan yang half day sama saja, “ ujarnya.

Diluar negeri usia 17 tahun anak sudah bisa berpisah dari orang tua, sehingga kemandiriannya terbentuk sejak dini. Berbeda dengan kultur kita dimana anak selalu deka dengan orang tua hingga mereka berumah tangga. Karenanya orang tua harus memahami apa yang menjadi kebutuhan anak. Sebelum menentukan pilihan. Anak perlu diberi kesempatan untuk melihat sekolah-sekolah yang dapat mereka pilih. “tegasnya sekali lagi.


STANDARD KURIKULUM HARUS TERPENUHI

Lantas bagaimana pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyikapinya? Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas, Prof. Suyanto, Ph.D menegaskan, mendukung penerangan FDS di sekolah-sekolah yang dianggap memapu. Namun ia pun mewanti-wanti agar materi pelajaran tambahan pada system FDS disiapkan dengan matang sehingga betul-betul bermanfaat bagi siswa, bukan justru membebani.

Bagi anak yang orang tuanya sibuk, konsep FDS memang cocok. “Daripada anaknya dibimbing oleh pembantu, ‘kan lebih baik di sekolah. Jadi anak bisa berinteraksi dengan grupnya, bisa mengembangkan empati dan kolaborasi dengan teman-temannya,”tambahnya.

Di Amerika konsep FDS rata-rata berkembang karena hampir semua orang tua murid bekerja. Juga sebagai akibat pergeseran peran wanita yang dulunya hanya ibu rumah tangga, tapi kini banyak yang berkarier.

Kata Suyanto, sekolah yang menerapkan sisitem FDS pun harus mempunyai program yang baik. Kurikulumnya harus jelas, sesuai dengan tingkatan pendidikan. Hal ini untuk mencegah terjadinya dampak buruk seperti sikap mental negative. Apalagi anak seharian di sekolah. Sehingga sangat memerlukan kegiatan dan aktivitas yang mengarah pada kreativitas, agar seimbang antara teori dan praktik. Siswa pun tidak jenuh dan apalagi sampai tak suka berlama-lama di sekolah.

Depdiknas sejauh ini tidak mengatur pengembangan kurikulum di sekolah full day, menurutnya juga memang tak perlu yang terpenting standar pendidikan terpenuhi dan benar-benar bisa ditegaskan. “Inilah keunikan dari pendidikan kita. Semuanya dilakukan sebagai upaya meningkatkan mutu. Sekolah boleh melakukan inovasi-inovasi untuk kreativitas anak, namun harus secara bertanggung jawab, dan juga memiliki otonomu yang sebesar-besarnya, sehingga timbul kompetisi satu sama lain,”ucapnya.

Kalau tak bertanggung jawab bahkan sampai membebani bisa saja akan memunculkan masalah.

Sumber: Kartini

No comments:

Post a Comment