Friday, July 23, 2010

HARI ANAK SEDUNIA

KISAH TENTARA CILIK

TRAGISNYA, YANG PEREMPUAN JADI PEMUAS SEKS







Apa yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar kata “tentara”? tentu sosok dengan fisik yang tinggi, gagah dan tidak takut mati. Tapi, apa jadinya bila anak-anak dijadikan tentara? Pasti miris mendengarnya. Itulah yang terjadi di Afrika, salah satu dari sekian banya daerah berkonflik yang menggunakan anak sebagai tentara.



Mereka kebanyakan diculik atau dijual orang tuanya, lalu dipaksa menjadi tentara. Tragisnya, anak perempuan tentara ini juga dijadikan sasaran pemuas seks para tentara laki-laki dewasa.



Dunia anak sebagai dunia bermain sungguh sulit ditemukan atau dialami anak-anak Afrika, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Coordinator Komunikasi Komite Palang Merah Internasional (International Committee on the Red Cross /ICRC) Layla Shtewi mengemukakan, banyak anak Afrika yang dijadikan tentara. Bahkan tentara anak (child soldiers) adalah hal yang paling ditakuti di negeri hitam tersebut. Bagaimana tidak, di sana anak-anak berusia di bawah 18 tahun dilatih dan dipersenjatai untuk membunuh. “Meskipun kadang-kadang masih suka bermain layaknya anak-anak lain diseluruh dunia, namun suatu waktu mereka dapat berubah menjadi “mesin pembunuh” yang menakutkan,” tuturnya.



Lebih dari sekedar kejahatan perang



Sebagai daerah berkonflik, terutama antar suku sangat marak senjata kecil dan ringan beredar di masyarakat. Hal itu kata Layla, juga ikut mendukung bertambahnya jumlah tentara anak, hingga memperburuk situasi di Afrika. “Dengan banyaknya anak perempuan yang menjadi tentara anak mengakibatkan mereka rentan terhadap eksploitasi dunia anak dan pelecehan seksual,” tambahnya.







Sementara itu Menteri Luar Negeri Prancis, Philippe Douste-Blazy saat diwawancarai kora Le Figaro berpendapat, penggunaan tentara anak-anak merupakan tindakan lebih dari sekedar kejahatan perang. “Sebuah bom waktu yang mengancam pertumbuhan dan stabilitas di Afrika dan Negara lain,”tandasnya.



Berdasarkan laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), beberapa pemimpin di daerah konflik ternyata memang lebih memilih anak-anak untuk dijadikan tentara dari pada orang dewasa. Ini dilakukan, karena anak-anak jauh lebih mudah diatur dan dimanipulasi. Tak hanya itu, anak-anak yang sudah yatim piatu juga mudah diculik, lalu dipasa menjadi tentara.



Deborah George, jurnalis yang mengakat tentang konflik bersenjata di Republik Sierra Leone, Afrika Barat mengungkapkan, anak-anak yang akan direkrut sebagai tentara, orang dan keluarganya dibantai terlebih dahulu. Setelah itu, mereka dirayu untuk berkelahi dan diyakinkan, bahwa perbuatan itu dibenarkan. Tak jarang para pemberontak juga meneror anak-anak agar mau bergabung dengannya sebagai tentara.



“Saya tahu anak-anak sering dipaksa berbuat kejamm setelah mereka diculik. Tujuannya untuk memisahkan diri dari komunitas awal mereka dan mengikatnya sebagai pejuang, “ucap wanita kebangsaan Amerika ini. Jika mereka menolak, maka para pemberontak itu akan menembaknya.



Deborah juga mengungkap, para tentara anak juga dipaksa menggunakan obat-obatan terlarang untuk menambahkan keberanian dan rasa percarya dirinya. “ Hal ini sangat umum dilakukan.kebanyakan dari mereka saat berperang dalam keadaan dibawah pengaruh obat, “ tambahnya. Jenis obat-obatan terlarang yang dipakai antara lain mariyuana sampai PCP.



Dijadikan pemuas seks



Nasib serupa dialami pula oleh anak-anak perempuan. Mereka yang kebanyakan berasak dari keluarga miskin atau yatim piatu diculik atau dijual keluarganya kepada para pemberontak. Namun dipilahnya anak perempuan sebagai tentara agar tentara pria punya partner seks. Dengan cara tersebut mereka berharap dapat terhindar dari HIV/AIDS.



Para tentara pria beranggapan, anak permpuan dibawah umur kemungkinan terjangkit virus tersebut masih sangat kecil. Yang lebih mengejutkan, tidak ada batasan usia minimum anak perempuan yang direkrut sebagai tentara. Saat mulai puber dan mengalami pertumbuhan payudara, berarti mereka sudah bisa dijadikan tentara sekaligus pemuas seks. Sekitar 40 persen tentara anak dari 500 ribu an adalah perempuan.



Selama tentara, anak-anak perempuan tinggal di kamp yang sangat tidak layak dan sempit. Kampnya menjadi satu dengan tentara pria dan tidak diperlakukan layaknya anak-anak. Disana para perempuan cilik itu tak hanya dilibatkan dalam peperangan dan pemuas seks tentara pria, tapi juga dipaksa memasak dengan porsi yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan makan seluruh pasukan.



Sementara, mereka sendiri harus berjuang dalam keadaan serba kekurangan, kurang makan dan obat-obatan. Akibatnya, banyak diantara perempuan cilik menderita penyakit kronis dan terkena pula beban dan tanggung jawab mengasuh anak hasil perkosaan.



Namanya anak-anak, mereka sungguh lemah dan tak berdaya mendapat perlakuan kasar orang dewasa. Umumnya menyerah dan menuruti apa saja yang diperintahkan pada mereka. Namun, yang sudah beranjak remaja ada yang nekat melarikan diri dari kelompok bersenjata yang merekrutnya. Meski begitu, para anak perempuan tersebut sudah telanjur meresa dirinya sangat buruk dan tak berharga. Tak heran bila banyak diantara mereka akhirnya terjum ke dunia prostitusi.



Dari kenyataan tersebut, jelas sekali terlihat kebutuhan anak perempuan selam direkrut menujadi tentara sering tidak diperhatikan. Padahal Dewan Keamanan PBB dalam resolusi 1325 menyebutkan, bahwa komunitas internal harus memperhatikan kelemahan perempuan selama perang, memberi hukuman berat kepada pelaku kekerasan seksual dan pemerkosaan.



Beruntung dalam beberapa tahun berakhir, pengadilan internasional criminal untuk Rwanda dan Yugoslavia telah sukses melakukan pendakwaan terhadap orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan seksual, misalnya pemerkosaan, perbudakan seks dan prostitusi.



TENTARA ANAK PELANGGARAN HUKUM INTERNASIONAL

Banyaknya konflik dan peperangan didunia yang menggunakan anak-anak sebagai tentara. Sebagai contoh Afrika Barat yang pertama kali dimulai dari Liberia. Lalu kelompok pemberontak di Republik Sierra Leone yang pertama merekrut anak-anak sebagai tentara. Kemudian kelompok pemberontak di Guinea, Ivory Coast dan kembali ke Liberia. Kondisi ini sebenarnya telah menjadi masalah global. Sayangnya masalah tersebut terus bertumbuh dan menyebar luas bagaikan virus.

Peter Singer, pengarang buku Children at War mengatakan, bahwa pemimpin pemberontak memang sengaja menggunakan anak-anak. “Para pemimpin pemberontak ini telah mempelajari keuntungan yang didapat dengan menggunakan anak-anak daripada orang dewasa. Malah praktik seperti ini sudah meluas keseluruh dunia,”tandasnya.

Kelompok pemberontak seperti ini, kata Peter, bahkan saling bertukar ilmu dengan pemberontak lainnya. Contohnya, kelompok di Nepal yang pertama kali menggunakan tentara anak. “Kelompok pemberontak dari India dan The shining Path dari Peru, “jelasnya. Meskipun hukum internasional melarang adanya praktik penggunaan anak sebagai tentara, tapi tetap saja praktik-praktik tak berperikemanusiaan itu dilakukan.

Yang memprihatinkan, tentara anak ternyata tak hanya direkrut oleh kelompok pemberotak atau militant, tapi ada juga yang direkrut secara paksa oleh pemerintah. Melihat kenyataan itu, pengacara anak diseluruh dunia sangat peduli dengan masalah ini. Mereka terus memperjuangkan nasib anak-anak yang dijadikan tentara, serta memperingatkan konsekuensi penggunaan anak didaerah konflik.

Penggunaan anak sebagai tentara akan menimbulkan banyak masalah. Tidak hanya merusak perkembangan mental dan psikologi anak, tapi juga trauma bagi masyarakat.





Dianggap tak bermoral dan tak suci lagi



Perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan, perdagangan anak dan eksploitasi secara seksual, tentu saja mengalami penderitaan fisik dantrauma psikis. Belum lagi kehamilan yang tidak diinginkan, terkena penyakit menular seksual dan stigma negative social.



Bagi anak-anak yang kondisi tubuh dan mentalnya lebih lemah, kerap menjadi subyek kekerasan terparah dengan sedikit kesempatan untuk bisa kembali merasakan hidup secara normal. Ini terjadi lantaran banyak tentara perempuan cilik ragu atau enggan mengikuti program rehabilitasi mental yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kemanusiaan. Mereka takut pengalaman kelamnya yang sangat memalukan itu dapat terekspos keluar. Padahal program rehabilitasi tersebut penting agar kelak mereka tidak kembali menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah.



Dalam acara amal Save the Children, Mike Aroonson, slah seoran general affairs menceritakan, “Setelah peperangan usai, tentara perempuan cilik banya yang ditinggal begitu saja tanpa adanya bantuan dari siapa pun. Padahal trauma yang berkepanjangan akan membahayakan perkembangan psikis, mental dan masa depan mereka.”



Tentara perempuan cilik, lanjut Mike, telah digunakan secara luas dalam pertarungan di area konflik internasional. Beberapa Negara yang terlibat dalam perekrutan anak perempuan antara lain Kolombia, Pakistan, Uganda, Filipina dan Republik Kongo. Di Republik Kongo, lebih dari 12.500 anak perempuan direkrut menjadi tentara. Di Sri Lanka, ada sekitar 43 anak perempuan dari 51.00 tentara anak-anak.



Jumlah yang terbilang lumayan banyak itu, tidak sebanding dengan jumlah anak perempuan yang ikut rehabilitasi. Di Republik Kongo misalnya, hanya sekitar 2 persen tentara anak perempuan yang mengikuti program. Sedangkan di Terpublik Sierra Leone hanya 4,2 persen. Inilah yang membuat proses pemulihan psikis matan tentara perempuan cilik lebih lama dari pada laki-laki.



Kondisi tersebut diperburuk lagi oleh stigma negative social yang diberikan masyarakat kepada para mantan tentara perempuan cilik. “Bila anak laki-laki setelah masa pemulihan bisa disebut pejuang, tapi anak perempuan akan disebut sebagai orang yang tidak bermoral, tidak suci lagi dan dianggap telah bersetubuh dengan siapa saja. “ungkapnya.



Mereka, lanjut Mike, sangat mengharapkan pengertian masyarakat dankeluarganya, karena keterlibatan dalam peperangan jelas bukan kesalahannya. Semua itu terjadi lantaran paksaan yang sulit dihindari. “Saat ini yang diharapkan para mantan tentara perempuan cilik adalah bantuan medis, bantuan untuk bayi-bayi mereka, akses pendidikan dan lapangan kerja. Selain itu, mereka juga tidak mau diperlakukan seperti kasta terendah. KARTINI

No comments:

Post a Comment