Monday, October 17, 2011

DIFTERI

KENALI GEJALA DIFTERI



Mewabahnya penyakit difteri di Jawa Timur hingga ditetapkan sebagai KLB (kejadian luar biasa) sejak Jumat, 7 Oktober 2011, menarik perhatian warga Indonesia. Terlebih, kalangan yang terbilang sangat rentan terhadap penyakit ini adalah anak-anak.

Pertama-tama mari kita ketahui definisi difteri. Difteri adalah penyakit akibat bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae. Di masa lalu, difteri merupakan penyakit yang telah menyebabkan ribuan kematian. Hingga kini pun masih mewabah di daerah-daerah yang belum berkembang.

Adapun mereka yang selamat dari penyakit ini biasanya akan menderita kelumpuhan otot-otot tertentu dan kerusakan permanen pada jantung dan ginjal. Anak-anak yang berumur 1 sampai 10 tahun sangatlah rentan terhadap penyakit ini.

Kuman difteri disebarkan dengan menghirup cairan dari mulut atau hidung orang yang terinfeksi, dari jari-jari atau handuk yang terkontaminasi, dan dari susu yang terkontaminasi penderita.

Gejala yang biasanya muncul ialah sakit tenggorokan, demam, sulit bernapas dan menelan, mengeluarkan lendir dari mulut dan hidung, dan lemah. Kemudian, kelenjar getah bening di leher membesar dan terasa sakit. Lapisan (membran) tebal terbentuk menutupi belakang kerongkongan. Jika menutup saluran pernapasan, menyebabkan kekurangan oksigen dalam darah.

Pencegahan dan perawatan

Lalu bagaimana cara menghindari atau melindungi diri dari penyakit ini? Difteri bisa dicegah dengan imunisasi. Imunisasi pun sebaiknya dilakukan kepada seluruh anak di bawah usia 10 tahun, baik yang terkena difteri maupun yang belum.

Pemberian vaksin DPT (difteri, tetanus, dan polio) dapat memberikan kekebalan anak-anak dari penyakit tersebut. Vaksinasi DPT sendiri masuk dalam kebijakan program imunisasi wajib yang diberikan pemerintah.

Namun, bagaimana untuk mereka yang telah terjangkit? Perawatan bagi penyakit ini termasuk antitoksin difteri yang melemahkan toksin dan antibiotik. Eritromisin dan penisilin membantu menghilangkan kuman dan menghentikan pengeluaran toksin. Membuat lubang pada pipa saluran pernapasan atas (tracheotomy) mungkin perlu untuk menyelamatkan nyawa.

DIPHTHERIA (DIFTERI)

Difteri adalah penyakit akut yang mengancam nyawa yang disebabkan Corynebacterium diphtheria.
Penyebab :
  • Corynebacterium diphtheria, dikenal dua macam Corynebacterium diphtheria, yaitu :
  • Toxigenic Corynebacterium diphtheria
  • Non-tocigenic Corynebacterium diphtheria
  • Toxigenic Corynebacterium diptheriae.
Ada 4 strain yang yirulen yang berhubungan dengan penyakit pada manusia:
  • Di Eropah bentuk yang ganas dari difteri, berhubungan dengan tipe strain gravis, dan kebanyakan kematian berhubungan dengan group ini.
  • Tipe strain mitis, berbeda keganasannya dari tipe strain gravis dan jarang fatal, dan umumnya hanya mengenai saluran nafas.
  • Tipe strain intermedius juga telah diidentifikasi dan merupakan penyebab penyakit difteri yang agak berat.
  • Tipe strain minimus, pernah di isolasi sewaktu epidemic dari penyakit difteri berat di Amerika.
Non toxigenic Corynebacterium diphtheria

Organism ini sering dijumpai pada daerah nasofaring. Telinga dan pada kotoran mata, dan harus dibedakan dari strain yang menghasilkan toxin. Pemeriksaan mikroskopis ataupun morfologi pada kultur tidak bias membedakan antara toxigenic dengan non toxigenic diphtheria. Metoda lama dengan menginokalkulasikan pada guinea pig memerlukan waktu beberapa hari, tetapi dengan metoda baru, yaitu dengan melakukan test invitro untuk identifikasi “skin toxin production” memberikan hasil yang dapat dipercaya dalam waktu 18 jam sesudah isolasi pertama.

Patofisiologi
  • Corynebacterium diphtheria adalah organism yang minimal melakukan invasive. Secara umum jarang memasuki aliran darah. Tetapi berkembang local pada membrane mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sisitem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu 0.06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guinea pig.
  • Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan local yang menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan lekosit masuk kedaerah tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai dengan jaringan yang rusak membentuk membrane. Akibat dari kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membrane sering terjadi, dan ini bertanggung jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada trachea-bronchial atau laryngeal difteri.
  • Warna dari membrane difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning atau abu-abu, dan ini sering meragukan dengan “simple tonsiliar exudates”. Karena membrane terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membrane rapuh, dan mudah berdarah bila membrane yang lengket diangkat.
  • Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain. Dimana dia menggunakan efeknya pada metabolism seluler. Toxin terlihat terikat pada membrane sel melalui porsi toxin yang disebut “B” fragment, dan membantu dalam transportasi porsi toxin lainya. “A” fragment ke dalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
  • Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria, dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dena tekosit (cuffing).
  • Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering terlibat dan lebih berat.
Gejala klinik
  • Difteri terjadi setelah periode masa inkubasi yang pendek yaitu 2-4 hari, dengan jarak antara 1-5 hari. Gambaran klinik tergantung pada lokasi anantomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah :
  1. Nasal diphtheria
  2. Tonsiliar (faucial) diphtheria
  3. Pharyngeal diphtheria
  4. Laryngeal atau laryngotracheal diphtheria dan
  5. Non respiratory diphtheria
  • Lebih dari satu lokasi anatomi mungkin terlibat pada waktu yang bersamaan.

Nasal diphtheria
  • Gejala permulaan dari nasal diphtheria sukar dibedakan dari common cold. Tanda karakteristik adalah dijumpai pengeluaran sekresi hidung tanpa diikuti gejala lain. Demam bila ada biasanya rendah. Pengeluaran sekresi hidung ini mula-mula serous, kemudian serosanguinous, pada beberapa kasus terjadi epitaksis. Pengeluaran sekresi ini bisa hanya berasal dari salah satu lobang hidung ataupun dari keduanya. Lama kelamaan sekresi hidung ini bisa menjadi mucopurulent dan dijumpai exkoriasi pada lobang hidung sebelah luar dan bibir bagian atas terlihat seperti impetigo.
  • Pengeluaran sekresi kadang mengaburkan tentang adanya membrane yang putih pada sekat hidung. Karena absorpsi toxin yang jelek pada tempat lokasi, menyebabkan gejala hanya ringan tanpa adanya gejala yang menonjol. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekresi akan berlangsung untuk beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan. Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian antibiotika.
Tonsillar dan pharyngeal diphtheria
  • Penyakit timbul secara perlahan dengan tanda-tanda, malas, anorexia, sakit tenggorokan, dan panas yang rendah. Dalam waktu 24 jam bercak eksudat atau membrane dijumpai pada daerah tonsil. Berikutnya terjadi perluasan membrane, yang bervariasi dari hanya melibatkan sebagian dari tonsil sampai menjalar ke kedua tonsil, uvula, paltum molle dan dinding dari faring. Membrane ini rapuh, lengket dan berwarna putih atau abu-abu, dan bila dijumpai perdarahan bisa berwarna hitam. Pengangkatan dari membrane akan mudah menimbulkan perdarahan.
  • Terlibatnya tonsil dan faring ditandai dengan pembesaran kelenjar, cervical adenitis dan periadenitis. Pada kasus yang berat, pembengkakan jelas terlihat dan disebut dengan “bull neck”.
  • Berat ringannya penyakit tergantung pada berat tidaknya toxemia. Pada keadaan ini temperature bisa normal atau sedikit meninggi, tetapi pols cepat dan tak teratur.
  • Pada kasus yang ringan, membrane akan lepas pada hari ke-7 sampai hari ke-10, dan penderita sembuh tanpa adanya gejala yang berarti, sedang pada kasus yang sangat berat, ditandai dengan gejala yang diakibatkan peningkatan toxemia, yaitu : kelemahan yang amat sangat, pucat sangat menonjol, pols halus dan cepat, stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada keadaan penyakit yang sedang, penyembuhan terjadi secara perlahan dan biasanya sering diikuti dengan komplikasi miokarditis dan neuritis.
Laryngeal diphtheria
  • Laryngeal diphtheria lebih sering merupakan lanjutan dari pharyngeal diphtheria, jarang sekali dijumpai berdiri sendiri. Penyakit ditandai dengan adanya demam, suara serak dan batuk. Peningkatan penymbatan jalan nafas oleh membrane menimbulkan gejala : inspiratory stridor, retraksi suprasternal, supraclavicular dan subcostal.
  • Pada keadaan yang berat laryngeal diphtheria berlanjut sampai kepercabangan tracheobronchial. Pada keadaan yang ringan, yang biasanya diakibatkan oleh pemberian antitoxin, saluran nafas tetap baik, dan membrane dikeluarkan dengan batuk pacta hari ke6-10.
  • Pada kasus yang sangat berat, dijumpai penyumbatan yang semakin berat, diikuti dengan adanya anoxia dan penderita terlihat sakit parah, sianose, kelemahan yang sangat, koma dan berakhir dengan kematian. Kematian yang mendadak bisa dijumpai pada kasus yang ringan yang disebabkan oleh karena penyumbatan yang tiba-tiba oleh bagian membrane yang lepas.
  • Gambaran klinik dari laryngeal diphtheria, serupa dengan gambaran menkanikal obstruksi dari saluran nafas, yang biasanya disebabkan oleh membrane, dan dijumpai kongesti, oedem, sedang tanda toxemia adalah minimal pada saat permulaan terinfeksinya laring, hal ini disebabkan karena absorpsi dari toxin sangat kecil sekali di daerah laring. Terlibatnya laring biasanya bersamaan dengan tonsil dan pharyngeal diphtheria, dengan konsekwensi gejala klinik adalah gambaran obstruksi dan toxemia yang berat, yang dijumpai secara serentak.
Tipe difteri yang jarang
  • Infeksi difteri sekali-sekali bisa mengenai tempat lain diluar tempat yang lazim (saluran pernafasan) yaitu pada kulit conjunctiva, aural, dan vulvovaginal.
  • Pada cutaneous diphtheria, kelainan yang terjadi adalah khas, berbentuk ulkus, dengan batas yang tegas, dan pada dasar ulkus dijumpai adanya membrane.
  • Pada conjunctival diphtheria, yang mula-mula terlibat adalah kelopak mata, dimana kelopak mata menjadi merah, oedem dan dijumpai membrane.
  • Terlibatnya liang telinga luar biasanya ditandai dengan keluarnya cairan yang purulent yang terus menerus. Sedang lesi vulvovaginal biasanya berbentuk ulkus yang mengelompok.
Diognosa
  • Diagnose ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinik merupakan pegangan utama dalam menegakkan diagnosa, karena setiap keterlambatan dalam pengobatan akan menimbulkan resiko pada penderita. Secara klinik diagnose dapat ditegakkan dengan melihat adanya membrane yang tipis dan berwarna keabu-abuan, mirip seperti sarang laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat.
Diagnose banding

1. Nasal diphtheria, diagnose banding adalah :
  • Common cold
  • Bila secret yang dihasilkan serosanguinous atau purulent harus dibedakan dari :
  1. Benda asing dalam hidung
  2. Sinusitis
  3. Adenoiditis
  4. Congenital syphilis
2. Tonsillar atau dan pharyngeal diphtheria, diagnose banding adalah :
  • Pharyngitis oleh streptococcus, pada keadaan ini biasanya diikuti dengan rasa sakit yang hebat pada saat menelan, temperature tubuh yang tinggi, dan membrane yang tidak lengket pada lesi.
  • Infeksi mononucleosis, biasanya diikuti lymphadenopathy dan splenomegali.
  • Blood dyscrasia
  • Post tonsillectomy faucial membranous.
3. Laryngeal diphtheria, diagnose banding adalah :
  • Spasmodic dan non spasmodic croup
  • Acute epiglotitis
  • Laryngo-tracheo bronchitis
  • Aspirasi benda asing
  • Pharyngeal dan retropharyngeal abscess
  • Laryngeal papiloma
  • Hemangioma atau limphangioma
Penatalaksanaan

Antibiotika
  • Penicillin dapat digunakan bagi penderita yang tidak sensitive, bila penderita sensitive terhadap penicillin dapat digunakan erythromycin. Lama pemberian selama 7 hari, pada golongan erythromycin dapat digunakan selama 7-10 hari.
  • Penggunaan antibiotika bukan bertujuan untuk memberantas toxin, ataupun membantu kerja antitoxin, tetapi untuk membunuh kuman penyebab sehingga produksi toxin oleh kuman berhenti.
Antitoxin (ADS)
  • Antitoxin yang digunakan adalah yang berasal dari binatang, yaitu dari serum kuda. Sebelum digunakan harus terlebih dahulu dilakukan test.
  • Test sensitivitas terhadap antitoxin serum kuda dilakukan dengan cara : 0,1 ml dari antitoxin yang telah diencerkan 1:1000 dalam larutan garan, diberikan I.C dan diteteskan pada mata. Reaksi dikatakan positif bila dalam waktu 20 menit dijumpai erythema dengan diameter >10 mm pada bekas tempat suntikan, atau pada test mata dijumpai adanya conjunctivitis dan pengeluaran air mata. Bila hal ini dijumpai, pemberian dapat dilakukan dengan metoda desesitisasi, salah satu cara yang digunakan adalah :
  1. 0,05 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C
  2. 0,1 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C
  3. 0,1 ml dari larutan pengenceran 1:10 diberi secara S.C
  4. 0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara S.C
  5. 0,3 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M
  6. 0,5 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M
  7. 0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara I.V
  • Bila tidak dijjumpai reaksi dari antitoxin dapat diberikan secara perlahan melalui infuse. Bila dijumpai reaksi dari pemberian antitoxin, harus segera diobati dengan pemberian epinepharin (1:1000) secara I.V
  • Di Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU, pada mulanya ADS (Biofarma) diberikan secara I.M. dengan dosis 20.000 unit, selama 2 hari berturut-turut. Cara ini sudah ditinggalkan. Belakangan digunakan ADS secara intravena pada penderita yang tidak sensitive, dengan dosis 20.000-40.000 u, dilarutkan dalam larutan NaCl fisiologis dengan perbandingan 1:20, dan diberikan dengan kecepatan 15 tetes/menit dan harus sudah selesai dalam waktu 30-45 menit. Sejak periode Maret 1984 polisi yang digunakan bagi penderita difteri yang tidak sensitive adalah sebagai berikut : ADS diberikan dengan dosis 40.000 u dalam larutan 200 ml NaCl fisiologis diberikan per-infus dan pemberian diselesaikan dalam waktu 30-45 menit.
Menurut studi Tasman (dikutip daru Krugman, Infectious disease of children, 1985) penggunaan ADS intra vena memberikan beberapa keuntungan seperti :
  • Peak serum antitoxin level tercapai dalam waktu 30 menit setelah pemberian secara intra vena dibandingkan 4 hari pada pemberian secara intra muscular.
  • Antitoxin terlihat sangat cepat di saliva sesudah pemberian secara intra vena dibandingkan pemberian secara intra muscular yang mungkin terlambat beberapa jam sampai beberapa hari.
  • Pada studi perbandingan antara kedua cara ini pada binatang percobaan, terlihat pada group intra vena angka kematian yang lebih rendah, komplikasi miokarditis dan neuritis yang lebih sedikit.
Kortikosteroid

Beberapa penulis menganjurkan penggunaan kortikosteroid pada keadaan tertentu, seperti bila ada tanda miokarditis, dan pada laryngeal ataupun nasopharyngeal diphtheria.

Rawatan penunjang
  • Penderita harus dalam keadaan istirahat karena ditakutkan terjadinya miokarditis (minggu ke 2-3 atau lebih). Serial EKG perlu dilakukan secara seri untuk mendeteksi secara dini tanda-tanda miokarditis.
  • Pemberian cairan harus cukup untuk mencegah dehidrasi, berikan kalori yang tinggi dengan makanan yang cair.
  • Pada laryngeal diphtheria tindakan tracheostomi perlu dilakukan untuk menghilangkan sumbatan jalan nafas.
  • Digitalis boleh diberikan bila ada tanda-tanda payah jantung, tetapi kontra indikasi bila ada aritmia jantung.
  • Bila ada paralyse palatum molle dan pharyng, pemasangan polyethylene tube perlu dilakukan untuk mencegah jangan sampai terjadi aspirasi.
Pencegahan
  • Pendegahan terhadap difteri dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi, yang dapat dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan dengan pemberian DPT ataupun DT. Diberikan 0,5 ml secara I.M imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali pemberian dengan interval waktu pemberian 6-8 minggu. Ulangan dilakukan satu tahun sesudahnya dan ulangan kedua dilakuan 3 tahun setelah ulangan yang pertama.
Penanganan kontak
  • Pencegahan terhadap difteri juga termasuk didalamnya isolasi dari penderita, dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin penyebaran penyakit ke orang lain. Penderita adalah infectious sampai basil difteri tidak dijumpai pada kultur yang diambil dari tempat infeksi. Tiga kali berulang kultur negative dibutuhkan sebelum penderita dibebaskan dari isolasi.
  • Kontak yang intim akan mudah tertular bila ianya tidak imun, kultur dari rongga hidung dan tenggorokan harus dilakukan.
  • Immunized carried harus diberikan injeksi ulangan dengan difteri toxoid, dan diobati dengan :
  1. Procaine penicillin 600.000 u/hari selama 4 hari
  2. Bencathine penicillin 600.000u, I.M. dosis tunggal atau
  3. Erythromycin, 40 mg/kg BB/24 jam, diberikan selama 7-10 hari
  • Nonimmunized asymptomatic carriers harus dilakukan :
  1. Pemberian diferi toxoid dan penicillin
  2. Dilakukan pemeriksaan setiap harinya oleh dokter
  3. Bila ini tidak dapat dilaksanakan, pemberian ADS 10.000 u harus dilakukan.
  4. Bila kontak telah menunjukkan gejala, pengobatan seperti penderitaan difteri harus dilaksanakan.
  • Terapi profilaksis dengan pemberian difteri toxoid, penicillin, dan bila ada indikasi, diberikan antitoxin harus dilaksanakan sesegera mungkin tanpa terlebih dahulu menunggu hasil kultur.
Schick Test

Untuk mengetahui seseorang mempunyai antitoxin didalam serumnya, disamping pemeriksaan yang akurat dengan pemeriksaan langsung titer antitoxin yang beredar dalam darah, dapat dilakukan Schick test dengan cara menggunakan Schicerm Biofarma Bandung), yang tersedia dalam sediaan s5 cc, dimana setiap cc nya mengandung toxin difteri yang stabil 1/50 d/l/m (dosis lethal minimal), dengan cara menyuntikkan 0,1 cc secara intra cutan pada lengan bawah kiri bagian voler dengan menggunakan jarum suntik 1 cc. beberapa penderita mengalami hypersensitive terhadap toxin ataupun terhadap antigen lain yang terdapat di dalam persediaan toxin. Untuk ini diperlukan control. Control dapat dilakukan dengan menginjeksikan difteri toxoid (0,005 Lf), diberikan secara intra dermal pada lengan yang berbeda.

Sumber :
http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2011/10/11/4532/13/Kenali-Gejala-Difteri
DIPHTHERIA (DIFTERI), oleh Chaeruddin P.Lubis, Fakultas Kedokteran USU, www.usu.ac.id/id/files/artikel/Dipteri.pdf

No comments:

Post a Comment