Friday, October 29, 2010
PROBLEMATIKA ANAK
PERILAKU SADIS DAN BRUTAL ANAK MAKIN MENGKHAWATIRKAN
Sebut saja dia Ari (nama samaran, red), bocah 14 tahun yang terlihat begitu lugu, tetapi dibalik senyum malu-malunya, tersimpan cerita mengerikan. “Waktu itu habis nonton video porno. Tiba-tiba aku pingin niru adegan di situ. Akhirnya aku ajak Rina (nama samaran, red) dan maksa dia begituan. Tetapi Rina berontak dan teriak-teriak, makanya kepalanya aku pukul pakai batu sampai mati,” tutur Ari santai. Jangan keget! Kasus Ari hanyalah contoh makin brutalnya perilaku anak-anak saat ini. Utnuk mengupas masalah ini, beberapa pakar angkat bicara.
Mirip dengan kisah Ari diatas, Za (14) dan Ham (14) juga tergoda melakukan perbuatan cabul setelah sebelumnya beberapa kali menonton film biru. Secara bergantian mereka “menggilir” seorang gadis cilik bernama Neng (6) di kebun pisang. Setelah puas melampiaskan nafsu, Za dan Ham sepakat menghabisi nyawa korban. “Aku takut Neng mengadu,” demikian alasan Za. Ham langsung mengambil batu dan melemparkannya ke kepala Neng beberapa kali. Karena korban masih hidup, Ham mencekik lehernya dari kandang ayam. Akhirnya Neng pun tewas, namun Za dan Ham belum puas dengan “hasil kerja” mereka.
Entah mendapat ide darimana, kedua bocah dibawah umur itu pun sepakat membakar jasad Neng untuk menhilangkan jejak. Kasus ini membuat masyarakat terhenyak dan tak berhenti bertanya, mengapa Za dan Ham, yang masih tergolong anak-anak tega melakukan perbuatan sebrutal itu.
Menurut SR Retno Pudjiati Azhar, Psikolog dari Universitas Indonesia, dalam diri manusia bisa saja terdapat perilaku menyimpang atau deviant disorder. Selain perilaku menyimpang biasa, yang mencakup pencurian atau perkelahian, ada pula perilaku menyimpang yang tergolong sadisme dan psikopat. Pudji, begitu wanita ini biasa di sapa, melihat penyimpangan perilaku pada anak-anak saat ini tak lagi sebatas penyimpangan perilaku biasa, namun sudah sampai taraf sadisme, yakni kemampuan untuk membunuh, seperti dilakukan Za, Ham dan Ari. Kondisi tersebut menurutnya tidak terlepas dari pengaruh tayangan-tayangan televise yang berlebihan. Salah satunya tayangan acara kriminalitas yang ia anggap kurang manusiawi karena sering menggambarkan cara-cara melakukan tindakan criminal secara detail. “Walau mereka berdalih hal itu sebagai tindakan rekonstruksi, tetap tidak bisa dibenarkan. Adegan itu mengundang inspirasi orang utnuk berbrutal-brutal,” ujar Pudji.
MEMFUNGSIKAN FILTER
Selain kriminalitas, tayangan di telvisi atau media cetak yang menampilkan sosok wanita dalam busana seronok juga dianggap menjadi pemicu keinginan seorang anak melakukan tindakan asusila seperti pemerkosaan. “Harus dipahami bahwa hormone anak-anak, khususnya remaja, sedang berkembang sehingga mereka mudah terangsang,” jelas Pudji. Anak-anak yang memiliki control diri baik akan bisa mengatasi rangsangan dari media. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki control diri cukup baik, bisa terjerumus dalam tindakan asusila, seperti pelecehan seksual atau pemerkosaan.
Oleh sebab itu, tak heran banyak permerkosaan dilakukan anak-anak setelah mereka menyaksikan adegan-adegan vulgar dalam VCD porno atau televise. Selain kasus Za, Ham dan Ari, masih banyak contoh kasus lain. Di Ampenan Mataram NTB seorang remaja tanggung bernama Romi (bukan nama sebenarnya, red) ditahan karena meperkosa Mira (bukan nama sebenarnya, red), gadis lugu yang baru duduk di bangku kelas 2 SMP. Di hari pertama, Romi mmemperkosa Mira sampai 5 kali. Karena ketagihan, beberapa hari kemudian Romi kembali mengulangi perbuatan bejatnya.
Di Palembang ada Zacky (12), seorang ABG yang memperkosa gadis kecil tetangganya (8) berkali-kali. Sementara di Jambi seorang pelajar kelas 1 SMP bernama Indra (bukan nama sebenarnya, red) digelandang ke kantor polisi Karena tindakan pemerkosaan terhadap dua orang gadis belia.
Sederetan kasus tersebut merupakan contoh perilaku anak yang tidak bisa mengontrol dirinya dengan baik. Selain kasus-kasus pemerkosaan, banyak juga kasus kriminalitas lain yang dilakukan anak-anak, antara lain pembunuhan, penganiyayaan, perampokan, narkoba dan lain sebagainya.
Pidji membenarkan penyimpangan perilaku pada anak seperti contoh diatas dipangaruhi antara lain oleh media. Namun ia enggan menyebutkan media sebagai pencetus utama. “Penelitian seputar masalah itu masih controversial. Saya yakin sebenarnya setiap orang memiliki filter dalam dirinya untuk menyaring informasi yang masuk. Karenanya, untuk memfungsikan filter tersebut perlu peran orang tua sebagai lingkungan terdekat bagi anak,” ujar Pudji yang berpendapat bahwa anak laki-laki lebih besar memiliki kecenderungan utnuk melakukan perilaku-perilaku menyimpang.
DIRANGKUL DAN DIPAHAMI
Selain membantu anak memfungsikan filter dalam dirinya, orang tua juga wajib memberikan bimbingan dan menciptakan komunikasi yang baik dengan putra-putrinya. Dengan demikian anak akan terbuka dan itu mempermudah orangtua membimbing dan mengontrol anak-anak dalam memilih serta mengenali teman yang baik. “Latih pula anak-anak agar bisa mengatakan tidak pada teman-temannya untuk hal-hal yang merugikan, tanpa harus menyakiti,” tambahnya.
Mengenai penjara sebagai alat untuk menciptakan efek jera, Pudji menganggap hal itu bisa dilakukan untuk tingkatan perilaku tertentu. Namun sebenarnya wanita ramah ini kurang setuju dengan penyebutan Lembaga Pemasyarakatan Anak. “ Harusnya dinamakan saja Tempat Rehabilitasi Anak Nakal. Anak-anak itu masih bisa diperbaiki dan memiliki potensi besar di masa datang. Untuk itu selama proses rehabilitasi, si anak harus tetap mendapatkan pembinaan ketrampilan, pendidikan dan pemenuhan kesejahteraan hidup, “ ujarnya.
Pihak orang tua juga diharapkan melakukan evaluasi terhadap penyebab perilaku menyimpang pada anak dan tidak memarahi si anak dengan hardikan-hardikan karena bisa membuat mental anak lebih buruk. Dengan jelas evaluasi itulah bisa didapat solusi terbaik. Dalam kondisi tertentu, cara yang harus ditempuh orang tua untuk memulihan kondisi anak adalah dengan memodifikasi lingkungannya, yaitu dengan memindahkan anak ke lingkungan baru.
Pemindahan itu dimaksudkan sebagai proses rehabilitasi, bukan pengasingan. “Namun kalau orang tua mampu membantu si anak mengatasi tekanan di lingkungan asli, tidak perlu di pindahkan ke lingkungan baru. Itu justru lebih baik. Pada dasarnya anak-anak dengan perilaku menyimpang hanya butuh dipahami dan lebih dirangkul,” tegas Pudji.
ANAK BERTINDAK TANPA BERPIKIR
Senada dengan pendapat psikolog SR Retno Pudji Ashar, kriminolog Adrianus Meliala juga menganggap pengaruh orang tua sangat besar, bai dalam mencegah maupun memicu terjadinya kebrutalan pada anak.” Anak-anak kelas bawah yang memiliki orang tua pekerjakasar banyak yang cenderung melakukan kekerasan. Pada dasarnya kehidupan mereka memang lebih keras dibanding anak-anak kelas menengah keatas. Hidup dilingkungan yang sering menuntut mereka menggunakan kekutan fisik, membuat anak-anak kelas bawah memiliki daya destruksi lebih besar,” papar Adrianus.
Sebagai salah satu upaya pencegahan, pria berkacamata ini menyarankan agar orang tua melatih emosi anak. Ajari mereka menahan diri dan mengalihkan rasa marah. Menilik banyak informasi dari media yang dapat memicu kebrutalan dan kriminalitas, orang tua diimbau agar selalu mendapingi buah hati mereka selama menonton TV atau VCD. “Namun pada dasarnya kemampuan kognitif anak memang terbatas. Seringkali yang mendasari perilaku anak adalah emosi semata. Contohnya saat marah, tanpa berpikir panjang anak bertindak, mengambil batu dan melempar. Oleh sebab itu, jangan main-main dengan emosi anak karena dia mempu melakukan tindakan sadis atau fatal,” imbuh kriminolog dari Universitas Indonesia ini.
Pada dasarnya Adrianus menganggap kejahatan yang dilakukan anak-anak umunya tanpa niat atau rencana. “Makanya muncul ketentuan anak-anak berusia di bawah 16 tahun tidak dikenakan hukuman. Orangtualah yang dianggap bertanggung jawab. Meski demikian tidak berarti Negara lepas tangan. Biasanya mereka dijadikan anak Negara dan ditempakan di Lembaga Pemasyarakan Anak (LP Anak) atau dititipkan ke orangtua denga kewajiban lapor kepada Negara,” paparnya.
Jika psikolog SR Retno Pudji Azhar dan kriminolog Adrianus Meliala menyebut fungsi orangtua sebagai pencegah utama merajalelanya kebrutalan anak, sosiolog Evelyn Suleeman MA berpendapat sedikit berbeda. “Tidak cukup hanya didikan orangtua. Seluruh masyarakat harus serius menanganinya. Misalnya menggiatkan badan sensor film karena tidak mungkin anak-anak yang menyeleksinya. Intinya jangan membebaskan anak-anak menyaksikan tayangan tanpa bimbingan orangtua. Kita juga harus memproduksi film-film mendidik sehingga anak-anak akan mengerti bahwa dalam kehidupan ini tidak hanya ada kekerasan,” panjang lebar. Keluahan peokolog Pudji yang mengaggap media terlalu detai menggambarkan sebuah tindakan criminal, sangat didukung Evelyn. “Saya pernah membaca ada orang yang melakukan kejahatan karena ingin ngetop atau masuk televise. Sepertinya tayangan negative di televise justru jadi memberi inspirasi bagi orang. Yang tadinya tidak tahu, jadi tahu,” ujar staf pengajar FISIP jurusan Sosiologi Universita Indonesia ini yang lahir di Jakarta 22 Desember 1956.
Peneliti di Insan Hitawasana Sejahtera ini juga melihat tututan dan tekanan yang dialami anak-anak sekarang lebih berat dibanding dulu. “Sajian kemewahan dalam tayangan iklan dan sinetron membuat mereka menginginkan sesuatu yang tidak bisa didapatkan. Iri dan dengaki pun timbul dan ini memicu kejahata,. Pelkajaran di sekolah yang menekan juga bisa memdorong anak melakukan tindakan criminal. Dari sini bisa dilihat bahwa kriminalitas anak bisa disebabkan banyak hal. Oleh sebab itu mencegahnya tidak bisa hanya mengandalkan orangtua, tetapi diperlukan kerja sama berbagai pihak,” tutur ibu dari Gabriel Ekaputra Sutanto ini.
TUGAS BERAT SEKOLAH
Selah satu pihak yang di anggap ikut bertanggung jawab terhadap perilaku menyimpang anak adalah sekolah. Menanggapi hal tersebut Profesor Anah Suhaenah, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengemukakan beban yang harus dipikul sekolah sangat berat. “Dulu, tugas sekolah hanya memberikan pendidikan yang sifatnya akademis. Sekarang sekolah juga dibebani tugas-tugas penanaman nilai moral yang sebenarnya merupakan tugas keluarga. Soalnya tututan jaman membuat banyak ibu bekerja diluar rumah dan tak mempunyai cukup waktu untuk memperhatikan anaknya,” jelasnya.
Beban tersebut terasa semakin berat karena rendahnya rasio perbandingan antara guru dan dengan murid, khususnya di daerah-daerah urban. “Satu misalnya masih harus mengawasi puluhan bahkan ratusan anak didik,” ujar Prof Anah, “Tetapi itu semua bukan alasan sekolang angkat tangan. Seberapa pun beratnya, sekolah harus ikut menanamkan nilai-nilai moral pada anak-anak,” imbuhnya.
Prof Anah mengakui pihak sekolah belum cukup berhasil melakukan tugas tersebut. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi sekoalah untuk mendukung keberhasilan penanaman nilai moral anak didik. Namun ia juga menharapkan adanya peningkatan koordinasi antara pihak rumah dan sekolah diantanya melalui komite sekolah atau POMG. Hal ini dinilainya akan bisa memaksimalkan proses pendidikan yang berlangsung. Soal hukuman, mengeluarkan anak-anak pelaku kejahatan dari sekolah denial Prof Anah sebagai tindakan kurang tepat. “ Seharusnya hukuman yang diberikan tetap mendidik dan memperhitungkan kebaikan si anak. Dengan mengeluarkan nya dari sekolah, berarti sekolah sudah kehilangan kesempatan untuk melakukan pembinaan kepada anak yang bersangkutan, “ ungkapnya.KARTINI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment