GENG REMAJA PUTRI
PENCARIAN JATI DIRI ATAU SOK KEREN
Masih ingatkah anda kasus geng remaja putrid beberapa tahun yang lalu? Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana sebuah kelompok/genk merekrut anggotanya atau bahkan memberikan sangsi pada anggotanya dengan menggunakan kekerasan. Dan sepertinya kita perlu mengulas kembali untuk mengingatkan kita agar selalu waspada dalam mendidik buah hati kita.
Di usia remaja, anak mulai memiliki kelompok atau bahkan sampai membuat geng. Celakanya dengan bergeng bisa menggunakan kekerasan. Seperti yang terungkap terbentuknya geng remaja putrid yang melakukan kekerasan pada teman di luar anggotanya. Herannya ini terjadi di Pati, kota kecil di Jawa Tengah. Tak tanggung-tanggung, kekerasan yagn mereka lakukan di rekam pula di ponsel.
Geng Nero, kepanjangan dari Neko-neko Dikeroyok, tiba-tiba popular di kota kecil Pati, Jawa Tengah. Popularitasnya bahkan samapi ke seantero Indonesia. Maklum, dari sebuah kota kecil, bisa ada sebuah geng remaja putri pula yang melakukankekerasan pada teman remaja putri lainnya. Selain Geng Nero, juga terungkap geng lain bernama Brensek. Sama seperti Nero mereka juga menganiaya teman sebaya putri, dan merekamnya di ponsel.
Adalah Lisa (namanya disamarkan-red), salah satu korbanya. Lisa mengaku tahu adanya geng yang senang mgincar dan memukuli sesama remaja putrid. Ia tahu, dia salah satu yang menjadi target geng tersebut. “Mereka menganggap saya kemayu, (genit-red), makanya saya nggak disukai. Karena itu kemana pun saya selalu bersama-sama teman. Kalau nggak saya sudah lama jadi korbannya,” ujar gadis manis itu.
Geng Nero memproklamirkan diri sebagai geng yang akan memberi pelajaran bagi sebayanya di luar gengnya yang dinilai mengejek, melecehkan dan menyaingi penampilan mereka. Awalnya beranggotakan 7 remaja putri, kini tinggal 4 orang., yakni My, TK, dan Yn. Kono, puluhan remaja putrid pun sudah menjadi korban.
Siang hari itu Lisa sedang Apes. Rupanya tida anggota GN (Geng Nero), My, Tk, Rt, sudah mengincarnya. Mereka tahu kalau hari itu ia sendirian di rumahnya. Ketiganya mendatangi di rumah dan memaksanya keluar, lalu membawanya ke Geng Cinta. Di geng yang berada di permukiman Tionghoa (pecinan) deka Gereja Isa Almasih, Desa Pejaksan, Juwana itulah, Lisa diperlakukan semena-mena. Ia ditampar, dipukul, dijambak rambutnya dan disuruh memberi hormat kepada GN. Tindakan kekerasan tersebut, lanjut Lisa, berlangsung sekitar 1.5 jam dan sambil direkam posel milik salah satunya. “Padahal saya sudah minta ampun, Saya sudah lemas, tapi tetap saja mereka memukuli,” tuturnya.
KORBAN SYOK DAN TRAUMA
Akibat kejadian itu, Lisa sempat syok dan trauma. Menurut ibunda Lisa, putri sulungnya sempat beberapa hari tidak mau makan, minum dan mandi. Ia banyak menangis dan mengurung diri di kamar. Syukurlah seiring berjalannya waktu kondisi Lisa berangsur-angsur membaik. Untuk menghindari kejadian itu tidak berulang lagi, ibunda Lisa mengantar jemput putrinya yang tercatat sebagai siswi kelas 1 SMA Batangan.
“Masalah tersebut sebenarnya sudah selesai karena Kepala Sekolah SMAN 1 Batangan dan SMAN 1 Juwana memanggil para pelaku. Mereka pun akhirnya berdamai dengan putrid saya, “ ungkap ibunda Lisa. “Karena itu saya heran dan prihatin kok mereka masih melakukannya, samapai kasusnya seserius ini, “ujar Ny At, sang ibu. “Kami dulu nggak melaporkan karena kasusnya sudah selesai, dan saya kasihan karena masa depan mereka masih panjang. Saya pikir mereka bisa diarahkan.”
Memang, setelah Lisa, ulah GN belum berakhir, Es dan Ws, kini mereka tercatat sebagai siswi SMPN 3 Juwana, juga mendapat perlakuan kasar GN, bahkan sejak anggota GN masih duduk di bangku SMP.
Awalnya Es dituduh GN menjelek-jelekkan salah satu anggotanya. Suatu hari empat anggota GN mendatangi rumahnya, mengajaknya keluar dengan alasan berkenalan. Sampai di depan Mushala SMP tersebut, Es dituduh telah menjelek-jelekkan kelompok tersebut. “Saya sudah menolak tuduhan. Saya bilang itu fitnah Ea (salah satu temannya yang kenal GN), mereka nggak percaya,” cerit Es.
Sama seperti korban lainnya, kedua pipi Es ditampar secara bergiliran oleh kelompok tersebut. Rambutnya dijambak dan bahunya dipukul hingga meninggalkan bekas memerah. Usai dianiaya ia diantar para pelaku dengan sepeda motor hingga pertigaan, tak jauh dari rumah Es. Dalam perjalanan Es menangis tersedu-sedu lantaran tak kuasa menahan rasa sakit akibat perlakuan semena-mena anggota geng yang tak dikenalnya itu.
Mengetahui putrinya dianiaya, orang tuanya, Wo dan Hi mendatangi rumah orang tuan Yn, salah satu pelaku. Seperti kejadian dengan Lisa, hal itupun bisa diselesaikan dengan baik. “Mereka datang ke rumah, minta maaf dan janji nggak akan mengulangi. Ya sudah kami maafkan, “cerita Hi, bunda Es.
Sayangnya, GN lagi-lagi mengulangi perbuatan tercelanya. Korbannya terakhir adalah Ws, sahabat Es. “Saya sih tidak bisa nggak akan memaafkan,” katanya. “Mereka sudah keterlaluan. Korbannya sudah puluhan orang."
BAGAIMANA KOMENTAR PAKAR?
Mh. Joni, Pakar Hukum
UNTUK ANAK, TINDAKAN PIDANA ADALAH UPAYA TERAKHIR
Geng Nero terungkap, membangun kesan kecenderungan kekerasan terhadap anak dan oleh siswa/anak itu sendiri. Makin kisruh karena muncul di tengah fenomena bullying di sekolah, kekerasan di STIP, ala Geng Motor. Kita patut mecemaskan geng sejenis ada namun tidak terungkap ke public.
Ditegaskan Muhammad Joni, SH, MH, Pakar Hukum Undang-Undang Perlindungan Anak agar pemerintah bertindak. Jangan menganggapnmya angin lalu. Dikhawatirkan, jika geng-geng ini sudah berlapis generasi, akan makin sulit diatasi.
Dalam analisis yuridis konstitusional, mengenai kekerasan ini ada dalil-dalilnya. Pertama, hak anak untuk terlindungi dari kekerasan sudah dijamin pasal 288 ayat 2 UUD 1945. “Jadi Negara berkewajiban melindungi dan melakukan tindakan perlindungan, termasuk melindungi korban yang menderita sakit, cedera atau yang pernah menjaslani perawatan serius.
Kedua, menhindari suburnya pelembagaan kekerasan di dalam kelompok anak dan orang muda, dan untuk menhindari jatuhnya korban kekerasan lebih lanjut, maka pemerintah mesti segera memotong pelembagaan geng seperti itu. Caranya beragam, mulai dari persuasive, dengan pengarahan untuk penginsyafan, dan memutuskan rantai “kaderisasi” dengan mengelimimir pengaruh actor pentolan geng itu dari “area kekuasaan”nya.
Kekerasan itu mesti dicegah, bukan hanya dijatuhi hukuman. Yang lebih penting mencegahnya secara konseptual sehingga dapat memberangusnya. Memutus rantainya tidak harus dengan membawanya sebagai perkara pidana. Pemidanaan hanya sebagai upaya terakhir (ultimatum remidium).
Di sisi lain, sekolah perlu menyiapkan antubodi bagi pelembagaan dan tradisi geng di sekolah. Peran guru pembimbing perlu di perbanyak dan bertugas mengendalikan dan melindungi siswa/anak. Guru dapat bekerja sama dengan orang tua, bahkan istansi terkait dengan maslah perlindungan anak dan perempuan.
Dra. Hj Nafisah Sahal, Anggota DPD RI Perwakilan Jateng
HARUS ADA PEMBINAAN KHUSUS
Saya prihatin dengan adanya kasus geng di Pati ini, yang notabene daerah saya sendiri. Saya juga heran mengapa justru terjadi di kecamatan, tepatnya didesa, yang seharusnya sikap masyarakatnya masih relative baik.
Adanya kejadian ini membuat saya, terutama sebagai anggota DPD RI, harus mendorong berbagai pihak untik mengatasinya. Terutama, pada anak-anak pelaku harus ada pembinaan khusus. Orang tua harus lebih banyak melakukan pengawasan. Jangan pembinaan diserahkan pada sekolah saja. Mereka ‘kan sekolah hanya sampai siang atau sore, selebihnya di rumah atau di tempat lainnya.
Karena itu secara kelembagaan, saya akan berusaha mengingatkan agar komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah (guru) diintensifkan. Orang tua yang suka enggan datang ke sekolah utnuk hadiri rapat-rapat harus didorong agar lebih memiliki perhatian. Orang daerah dan rata-rata produk mengasuhan zaman dulu, perhatian terhadap proses pendidikan anak memang masih kurang. Ini memang harus disosialisasikan terus-menerus.
Ratih Anjayani Ibrahim, Psikolog
TAK SELALU PENGARUH LINGKUNGAN
Sebenarnya adanya geng ramaja baik geng cowok atau cewek, seperti Geng Nero, itu bukan hal baru di kalangan remaja. Hanya saja yang menjadi sorotan, karena geng tersebut melakukan kekerasan fisik. Biasanya permpuan identik dengan hal-hal yang lembut, baik,m tapi juga lemah.
Namun sebagai remaja termasuk siswi SMP usia 12-15 tahun, atau SMA DI KISARAN 15-18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, mereka berada pada fase transisi, karena tidak mungkin secara tiba-tiba menjadi dewasa. Dalam masa transisi tersebut , remaja mulai mencari jati diri dan identitas dirinya. Karena itu pada umumnya punya ciri khas yang lebih spesifik dibandingkan kelompok lain. Misalnya dengan mencanangkan bahwa dia ada secara pribadi dan bukan anak-anak, sudah punya pendapat sendiri, memiliki keinginan sendiri dan berbeda dibandingkan dengan orang-orang yang selama ini mengatur dirinya seperti orang tua, guru dan sebagainya.
Pada usia inilah mereka mulai bergerombol dan membentuk kelompok-kelompok eksklusif. Tak heran terjadi pengaruh dari rekan sebaya dan setelah terpengaruh pengelompokannya akan semakin lebih solid. Begitu solidnya hingga yang termasuk kelompok mereka itu us (bagian dari kelompok mereka), dan orang di luar kami adalah mereka (them).
Dalam berkelompok itu mereka menunjukkan dirinya dengan cara show of power, pamer kekuatan untuk eksistensi. Memang pada dasanya remaja memiliki keinginan untuk eksis diantara teman-temannya, dan untuk tampil eksis maka harus berbeda. Namun selalu ada penyimpangan sebagaimana dalam kasus Geng Nero. Yakni dalam bentuk kekerasan secara fisik yang nyata. Dan perempuan juga tetap bisa melakukan tindakan agresivitas.
Dalam sebuah kelompok yang eksis akan terbentuk citra eksklusif. Maka, bagi yang ingin menjadi bagian dari kelompok tersebut pun harus menjalani tahapan-tahapan untuk bergabung di dalamnya. Tak heran dalam prosesnya terbentuklah militanisme, inisianisme, yang lalu berkembang menjadi kekerasan. Hingga akhirnya satu kelompok bisa saja menyerang orang dari luar anggota geng.
Jadi yang harus ditelaah lebih jauh adalah individu yang menjadi pemicunya. Tidak selamanya lingkungan yang memepengaruhi, sebab dalam jiwa si remaja sendiri, terdapat keinginan untuk eksis dan tampil beda. Untuk itu mereka harus diberikan pengertian toleransi terhadap orang lain. Karena resistensi mereka tinggi berikan pengertian dengan tahapan tertentu, jangan sampai nasihatnya salah agar tidak bisa percuma atau tidak didengarnya. Tahapan-tahapannya yaitu :
- Pertama tahapan fisikal. Yakni dengan menjelaskan bahwa melakukan tindakan semena-mena ada konsekuensinya, ada hukumannya.
- Kedua pembinaan atau konseling. Hukuman secara fisik tapi tidak ada tindak lanjutnya juga percuma. Jadi remaja harus dibimbing, mengikuti konseling dan pendampingan agama.
- Ketiga, pengawasan pasca pembinaan. Yakni pengawasan bagaimana perkembangannya setelah konseling dilakukan. Tujuannya agar hal ini tetap berjalan secara konsisten.
No comments:
Post a Comment