Friday, October 29, 2010

BAYI-BAYI KORBAN HIV/AIDS









RATUSAN BAYI DI KOTA-KOTA BESAR SAAT INI TERINFEKSI HIV/AIDS

JAKARTA TERCATAT 300 BAYI



Memilukan. Anak-anak yang menderita HIV/AIDS semakin banyak. Di RSU dr Soetomo tahun 2007-2008 tercatat 60 bayi terkena. Di RSU Hasan Sadikin terdapat 51 anak, di RSU Karyadi Semarang 20, serta di RSU Sanglah Bali 22 anak. Bahkan di Jakarta, setiap harinya datang 10 pasien lama dan baru setiap bulan rata-rata 10 pasien HIV/AIDS baru. Nasib mereka pun demikian memilukan.



Sebuah ruang rawat terletak di pojok rumah sakit dr. Soetomo terlihat sepi. Pintunya juga selalu tertutup. Ada tanda larangan masuk bagi siapa saja, tak terkecuali keluarga. Ruangan dengan nama Upipi di bagian atas pintunya ini ternyata tempat penyembuhan orang dengan HIV/AIDS atau ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Hanya perawat dan dokter saja yang diperbolehkan masuk. Upipi kepanjangan dari Unit Perawatan Intermedite Penyakit Infeksi.



Disana seorang bayi positif HIV/AIDS yang ditinggal lari ibunya tergolek sendiri. Bayi bernama RA, usianya belum setahun ketika ibunya ke rumah sakit karena mencret dantidak sembuh-sembuh. Ketika menunggu giliran dipanggik, sang ibu izin ke kamar kecil dan menitipkan bayinya kesalah satu perawat. Tapi, setelah itu ia tak pernah muncul kembali hingga detik ini.

Ketika datang kerumah sakit, kondisi RA sangat menyeramkan. Badannya tinggal tulang karena didera mencret terus menenrus dan kekurangan gizi. Rumah sakit akhirnya berinsiatif memberikan serangkaian tes darah sang bayi. Hasilnya mengejutkan. RA positif HIV/AIDS.



Meski kondisinya kini sudah membaik dengna berat badan cukup, dan sudah mencapai 8 kg, namun tak ada orang tua yang mau mengadopsinya setelah tahu ia mengidap HIV. RA akhirnya jadi anak para perawat di ruang Irna Anak.



Di RS Ciptomangunkusumo, tiga balita juga tergolek lemah. Namanya sebut saja Firman (3 bulan), Pita (4), dan Adi (1). Mereka sudah berbulan-bulan dirawat di sana. Kasusnya gizi buruk, infeksi hati dan luka mulut dan abses atau bisul besar di daerah leher. Lebih dari itu mereka jelas menderita HIV/AIDS. “Mareka semua sudah tak memiliki orang tua. Yang memelihara dan menjaga bisa neneknya atau saudara orang tuanya. Karenanya itu mereka jadi tidak rutin berobat. Seperti sekarang ada infeksi baru di bawa lagi kesini,” kata dr Nila Kurniati, SpA yang merawat mereka.



Yang dialami Pita, diceritakan dokter muda itu sudah stadium AIDS sejak pertama di bawa. Ketika masih hidup, ibunya sebenarnya rajin memeriksakan bayinya. Kondisi awalnya berupa gizi buruk. Setelah dirawat dan diobati sudah membaik. Setelah ibunya meninggal, neneknya tak bisa membawanya ke rumah sakit. Ketika datang lagi, kasusnya sudah berbeda: infeksi hati.

Kisah Rita (19) juga tak kalah memilukan. Wanita itu HIV positif dan menularkan virus kepada putranya Rudi (3.5 th) semua bukan nama sebenarnya. Rita menikah pada usia 15 th karena keburu hamil dengan kekasihnya. Saat itu usia kandungannya 4 bulan dan 2 bulan setelah menikan kondisi suaminya memburuk.



Dalam keadaan hamil Rita sibuk memeriksakan sang suami ke puskesmas dan klinik. Tak ada hasil, sementara berat badannya tadinya 75 kg menjadi 50 kg dalam waktu hanya satu bulan. Setelah diperiksa di RS Persahabatan, Jakarta, barulah Rita tahu kalau suaminya dulu pecandu narkoba dan menderita AIDS. “Saat itu usia kandungan saya 7 bulan, dan tidak melakukan pemeriksaan apa-apa untuk bayi saya. Saya tidak mengerti kalau dapat menular ke bayi,” ujar Rita ketika ditemui di salah satu klinik Yayasan Pelita Ilmu.



Memanglah, saat bayinya berusia 3 bulan, ia mulai sering sakit-sakitan. Sama seperti yang dialami ayahnya, bayinya sering batuk dan BAB yang menyebabkan berat badan turun drastic. Rita mengadukan masalah bayinya pada YPI dan setelah dilakukan test, anaknya dinyatakan positif terinfeksi HIV. “Sampai sekarang, dalam usianya 3,5 tahun anak saya tetap minur ARV. Dia rewel, Tanya-tanya kok minum obat terus. Tapi karena saya berusaha disiplin, dia tumbuh normal, lincah meskipun badannya kurus,” cerita Rita dengan mimic sedih tak berdaya dengan kondisi putranya.



Rita sediri kini sudah menikah lagi dan telah memiliki anak kedua perempuan yang bebas dari HIV.”Anak kedua perempuan dan tidak tertular, karena selama kehamilan saya ikuti program yang diberikan YPI,” ucapnya bersyukur.





DATA DI BERBAGAI RUMAH SAKIT







Kisah anak-anak tanpa dosa namun harus menerima nasib lahir dengan kekebalan lemah memang tersimpan rapat di dalam laci bergembol catatan medis para dokter di berbagai rumah sakit rujukan. Sangat dirahasikan. Jangankan kita bisa berbincang dengan keluarganya, bahkan nama saja pun para dokter maupun relawan mengunci mulut mereka.



Karena informasi yang salah, bisa dimengerti mengapa HIV/AIDS dianggap sangat menular. Bahkan ada banyak fakta. Setelah ketahuan seseorang menderita penyakit tersebut mereka dikucilkan lingkungannya. Padahal ditegaskan dr Nila, bahkan dari orang tua (dalah hal ini ibu) penularannya pada janin tidak 100 persen. Menjaga hal-hal yang tak diinginkan itulah, keberadaan pasien HIV/AIDS sangat dirahasiakan.



Yang jelas,k diungkap Nia, sampai hari ini ada sekitar 300 an anak yang dirawat jalan dengan HIV positif. Data itu memang sejak th 2002, namun rata-rata setiap harinya datang 10 pasien anak-anak berkisar usia 0-7 tahun. Dan tercatat ada 10 pasien baru setiap bulannya. 1/3 nya meninggal.



Di RSU dr Soetomo Surabaya, sejak Januari 2008 diungkap Fatimah, perawat di Upipi dalam seminar penanggulangan HIV/AIDS yang digelar Universitas Airlangga di Pusat Kebudayaan Prancis, tercatat 60 bayi HIV dirawat di Upipi. Beberapa bayi dilahirkan disana, namun tidak lantas diisolasi di ruang Upipi, sebab umumnya dibawa pulang orang tuanya.



Angka 60 bayi yang positif teriveksi HIV memprihatinkan, “ kata dr Esty Martiana, Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Betapa tidak angka kelahiran yang cukup tinggi itu seolah mematahkan upayanya memerangi penyakit mematikan tersebut. Mulai dari penyuluhan, pencegahan hingga penanganan konkret. Sayangnya, upayanya itu menjadi sangat kecil dibandingkan dengan maha dahsyatnya peredaran narkoba di Surabaya dan Jawa Timur. “Meski data saya sendiri tidak sebanyak itu, tapi meningkatnya jumlah kelahiran bayi HIV/AIDS benar-benar memprihatinkan. Semua harus ikut memerangi penyebabnya,”ucap dr Esty yang ditemui di kantornya itu.



Bayi-bayi dengan human deficiency virus (HIV) yang menyerang kekebalan tubuh itu diantaranya tidak rutin diperiksakan ke Upipi. Kebanyakan diakui Fatimah tidak diperiksakan kembali atau sesekali saja, terutama yang berasak dari luar daerah Surabaya. Melahirkan memang di RSU dr Soetomo yang merupakan rumah sakit rujukan bari RSU di daerah TK II di Jatim bahkan Indonesia Timur.



Di rumah sakit Sanglah, Bali ada sekitar 22 anak HIV/AIDS sejak tahun 2006 lalu. Tiga anak rawat inap dan 2 baru-baru ini meninggal.



Sedang di RS Karyadi Semarang data tahun 2007-2008 menurut dr Hapsari, terdapat 20 anak usia antara 11 bulan- 8 tahun yang positif HIV. Yang saat ini dirawat inap sekitar 4 anak. Sementara di RSU Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat tercatat di Klinik Teratai, anak penderita HIV positif sejak tahun 2004-2008, sekitar 51 anak usia 0-12 tahun. 31 diantaranya sudah tahap AIDS.





TELANTAR DITINGGAL AYAH IBUNYA



Sulit mengungkapkan bagaimana nasib anak-anak malang itu. Sebab, sudah jelas mereka ditulari orang tuanya. Kondisinya menurut dr. Nila Kurniati dari yang jelek sampai yang bagus. Bagus, artinya layaknya anak normal saja. Sekolah, bermain, maupun beraktivitas lainnya tetapi karena didalam tubuhnya ada virus HIV sehingga ia mudah kena penyakit infeksi, apakah itu flu, diare, dsb. Karenanya mereka harus mengonsumsi obat seumur hidupnya.



Sedangkan pada kondisi yang sedang bahkan buruk, mulai stadium 3 dan 4 (stadium 4 sudah masuk tahap AIDS-red), kondisi mereka sungguh memilukan. Umumnya datang dengan kondisi gizi buruk, TBC, infeksi radang otak, jamur dan sebagainya. Ada pula yang datang dengan kondisi baik, namun begitu usianya 2 tahun mulai sering kena diare, demam terus-menerus, 1 bulan, 3 bulan hingga 6 bulan dilakukan serangkaian tes barulah ketahuan bila daya tahan tubuhnya digerogoti virus HIV.



Yang menyulitkan menurut Nia karena pada HIV ini tidak ada gejala yang khas, bahkan berbeda-beda dengan keluhan beragam. Namun pada penderita HIV berlaku hukum anomaly. Misalnya, hampir 97% anak yang kena campak tidak berulang seumur hidup, kena cacar air 99% sekali seumur hidup. Kalaupun berulang dalam bentuk cacar monyet.



Pada anak HIV, cacar air bisa 3 kali, kena campak bisa 4 kali. Biasanya kata Nia, kalau ada gejala-gejala klinis demikian, atau demam terus-menerus, infeksi radang terus meskipun sudah diobati, dokter membacanya adanya warning. Tes laboratorium pasti akan disarankan para dokter tersebut. “Tanpa tes darah kita tidak akan tahu anak terkena HIV atau tidak,m karena gejala-gejala klinis itu hanya membantu mengarahkan kita saja, bukan gejala pasti, “ ujarnya. Dikatakan demikian karena tak selalu anak dengan gizi buruk atau TBC terkena HIV.



Setelah diyatakan positif biasanya sebelum tes dilakukan pendekatan persuasif dengan orang tua bahwa hanya teslah yang dapat memastikan barulah pengobatan dilakukan itupun menurut Nia jangan dibayangkan pengobatan dalam pengertian memberi obat-obatan. Justru pengobatan bukan hal utama mengingat tata laksana obat akan berlangsung seumur hidup.



Yang terpenting menurutnya, adalah membangun kepercayaan dengan keluarga dan anak, dan mengetahui secara persisi siapa yang merawat si anak. Sebab dalam perjalanan perawatan, biasanya orang tuanya meninggal lebih dulu. Mungkin mula-mula ayahnya lalu ibunya atau sebaliknya. Lalu anak mungki dirawat oleh neneknya yang secara ekonomu tidak mampu. “Karena itu buat apa minum obat yang harus rutin dan seumur hidup kalau hanya sesekali datang control. Sebab, setiap waktu dosis obat HIV ini berubah. Berat tubuh anak naik sedikit saja dosisnya berubah. Jadi sulit buat anak yang sesekali control,” ungkap dokter berjilbab yang dijuluki Dokter HIV.



Kalau toh orang tua pengganti ini rutin memeriksakan si anak, kondisi psikologis anak mungkin sudah berubah. Dulu mungkin taat minum obat karena ada ayah dan ibunya. Begitu mereka tidak ada bisa jadi lebih sulit. Karena itu Nia lebihmenyarankan keluarga rajin kontrol utnuk mengetahui tingkat HIV saerta menekan kemungkinan terserang infeksi.



Pada dasarnya diungkap Nia, tak semua HIV membutuhkan obat. Tergantung tingkatnya saja. Kasus bayi Sheila (bukan nama sebenarnya) menegaskan hal itu. Ketika dilahirkan 6 tahun lalu, usia 1,3 bulan sudah didiagnosa HIV. Setelah diobati selama 6 bulan kondisinya membaik. Sayang ayahnya lalu meninggal dan ibunya mulai melemah kondisinya sehingga lama tak mengantar Sheila kontrol. Enam bulan setelah kontrol terakhir, ia datang lagi. Ternyata kondisinya baik-baik saja meski lama tak minum obat. Setelah ibunya meninggal, Edo dirawat neneknya yang hanya membawanya kerumah sakit sesekali saja. Usianya 6 tahun dan kondisinya baik-baik saja tanpa obat.



Meski penderita HIV tampak baik-baik saja, tetapi sampai tahap tertentu baik dengan atau tanpa obat, daya tahan tubuhnya akan makin melemah. Pada suatu masa pun akan meningkat menjadi AIDS.



Untuk menjadi AIDS mmebutuhkan waktu antara 12 bulan sampai 4 tahun, itu yang tanpa obat. Bila dengan obat bisa jauh lebih lama lagi. Persisi seperti kondisi gunung, ada yang curam ada yang landai. Daya tahan tubuh bisa menukik tajam, namunada yang pelan menggelinding di lembah landai, namun tetap kondisinya semakin menurun. “Yang jelas bila penderita HIV meninggal, bukan karena HIVnya, lebih karena penyakit infeksi seperti radang otak, diare. Kaena daya tahan tubuh lemah, jadi tidak bisa menahan serangan infeksi.





DITULARKAN DARI IBU & JARUM SUNTIK







Menurut Husein Habsyi, wakil ketua Yayasan Pelita Ilmu (YPI), fenomena maraknya kasus-kasus HIV belakangan ini karena ada pola epidemi HIV mulai berubah mengarah ke populasi masyarakat umum. Sebelumnya pola perkembangan virus masih berkisar pada lingkungan pekerja seks dan pelanggannya. Namun karena para pelanggannya umumnya kelompok usia seksual aktif dan memiliki pasangan tetap, maka makin banyaklah istri yang tertular HIV/AIDS.



Pengguna narkoba, terutama yang suntik juga penyebab HIV yang cukup tinggi. Menurut estimasi Departemen kesehatan, prevalensi HIV pada pengguna narkoba suntik rata-rata nasional adalah sebesar 41,6%. Karena penggunanya mayoritas berusia muda dan memiliki pasangan tetap, mau pun melakukan hubungan seks diluar pernikahan, maka kasus kehamilan dengan HIV/AIDS juga meningkat.



Jika wanita tertular HIV/AIDS dari pasangannya (suami atau pacar), maka dapat disinyalir akan banyak bayi yang berpeluang untuk tertular. Walaupun menurut Husein tidak 100% menular ke bayi. Mungkin sekitar 25% kemungkinan bayi tertular sejak dalam kandungan, namun termasuk angka yang cukup besar.



Tingkat penularan 25% itu pun saat ini bisa ditekan hingga menjadi 2 %. Ini berlaku bagi ibu hamil yagn sudah dilakukan intervensi melalui program Prevention of Mother ti Child HIV Transmition (PMTCT). Dengan pmtcr, ibu HIV positif diharuskan mengonsumsi obat ARV profilaksis selama hamil, melakukan persalinan dengan operasi caesar dan tidak memberikan ASI pada bayinya. Jika hal tersebut dilakukan maka resiko penularan dari yang semula 25-45% dapat ditrkan menjadi 2 %.



Menurut Depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan. Berarti, jika tidak ada intervensi sekitar 3.000 bayi dikhawatirkan lahir HIV positif. Yang memperihatinkan, mayoritas berasal dari golongan ekonomi lemah yang kesadaran akan pentingnya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi masih minim. Tak heran bila kecolongan, bayi-bayinya lahir sudah tertular.



Namun, walaupun di dalam kandungan bayi tak tertular virus, dan ketika lahir pun melalui operasi caesar yang berarti lolos dari virus, bukan berarti bebas selamanya. Bayi masih berpeluang terinveksi HIV. Hanya saja untuk mengetahui status usia tersebut bayi akan dites antibodi, biaya tesnya terjangkai Rp 100.000. “Tes ini penting karena anak gizi buruk atau TBC atau penyakit infeksi lainnya tidak selalu terkena HIV. Jadi kepastian menderita HIV atau tidak melalui test.



Tes juga bisa dilakukan pada usia bayi 6 bulanberupa tes virus (PCR). Tes mengidentifikasikan virus ia ingin melakukan lebih cepat, dapat dilakukan pada bayi usia 6 bulan. Tes ini bernama PCR, yaitu tes virus untuk bayi. Tes ini mengidentifikasi virusnya bukan antibodi. Biayanya relatif mahal sekitar Rp 1 juta, dan di Jarta haya tersedia di RS Ciptomangunkusumo dan RS Dharmais.



Jika bayi dinyatakan terinfeksi HIV positif, otomatis harus meminum ARV sepanjang hidupnya. Awalnya memang disembuhkan dulu penyakit infeksinya, baru kemudian mendapat ARV. Hal ini dimaksudkan agar kondisinya tetap stabil, memiliki harapan hidup lebih lama dengna kualitas hidup lebih baik. Jika virus dalam tubuh bayi terlalu banyak dan ia menjadi lemah, maka akan banyak penyakit yang masuk dan harus dirawat. Namun dengan obat, anak cukup dirumah dan beraktivitas layaknya anak-anak lain yang normal. “Sayangnya belum ada obat khusus utnuk bayi dan anak. Jadi kalau akan diberikan pada bayi diubah menjadi bubuk (puyer).



Harapan hidup anak-anak HIV positif yang terinfeksi sejak bayi tidak dapat ditentukan. Sangat mungkin bayi itu tumbuh baik hingga dewasa. Akan tetapi jelas, lambat laun akan berubah menjadi AIDS yang mematikan. KARTINI



PERLU DIKETAHUI



HIV ATAU HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS



HIV adalah nama virus yang menyerang kekebalan tubuh. Dalam tubuh kita ada sisitem kekebalan yang terdiri dari sel-sel diantaranya adalah sel T yang tugasnya memerangi kuman dan infeksi. Virus HIV inimenyerang sel T, bersembunyi di sana tanpa diketahui untu berapa lama. Karena itu orang yang darahnya terinfeksi HIV bisa nampak sehat, hanya saja mudah terkena penyakit sehari-hari seperti demam, flu, atau diare, dan dia telah menjadi sumber penularan bagi orang lain. Untuk menekan perkembangan virus, penderita harus mengonsumsi obat sepanjang usianya.



AIDS atau ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME



Bila HIV adalah virus penyebabnya, AIDS merupakan gejala penyakit atau kelainan yang ditimbulkan HIV. Tidak semua orang yang mengidap virus HIV menunjukkan gejala AIDS.

Setelah HIV becokol bertahun-tahun (minimal 12 bulan), mulai muncul sindroma yang menunjukkan hilangnya kekebalan tubuh, ditandai dengan munculnya penyakit-penyakit bawaan seperti diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Pada saat inilah dikatakan positif AIDS atau sudah mamasuki tahap AIDS. Bahkan sakit ringan pada orang normal pun bisa sangat berbahaya bagi penderita AIDS.

PENULARAN

Ada tiga jalan utama penularan virus HIV, yaitu melalui hubungan seksual, darah (jarum suntik), dan pada ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, kecuali selama kehamilan melakukan PMTC (Preventation of Mother to Child HIV Transmission). Yakni, menonsumsi ARV profilaksis, melakukan persalinan dengan operasi caesar dan tidak memberikan ASI pada bayinya, minum obat ARV.

Penularan melalu jarum suntik, diantaranya melalui suntik narkotika, dimana jarum dipakai bergantian. Darah yagn tertinggal di jarum suntik sudah cukup untuk menjadi tempat bermukim virus HIV dan ketika digunakan orang lain, virus yang tertinggal dapat pindah/masuk ke orang lain tersebut. Bila pun harus disuntik untuk pengobatan, pastikan jarus suntik baru. Tapi saat ini jarum suntik umumnya sekali pakai. Perlu diketahui, virus HIV tidak menular melalui gigitan nyamuk karena nyamuk tidak memiliki sel T manusia yang dibutuhkan virus HIV.



No comments:

Post a Comment